Title:
For the Rest of My Life
Author: Eri Tonooka
Pairings: KazukiXManabu
Chapter: 1/1 –OneShot-
Genre: Sho-ai, Angst, Drama, Family
A/N: untuk pertama kalinya saya repost dari fb (link) karena ada yang mau ff
KazuMana buatan ane wkwkwk :D
For the Rest
of My Life
Versailles
– Remember Forever
Hidup seseorang hanya Tuhan yang
tahu, selebihnya kita hanya menjaga dan selalu bersyukur atas apa yang telah
diberikan oleh Nya kepada kita. Jika Tuhan sudah berkehendak, siapapun tak akan
ada yang bisa mengubahnya.. Tidak ada.
Karena keputusan Tuhan lah,
pemuda brunette yang sedang menunggu bus pulang bersama seorang temannya itu
menjadi seperti sekarang ini. Sekilas ia nampak seperti pemuda biasa dengan
tubuh yang masih lengkap. Namun jika diperhatikan, nampak sebuah benda
tergeletak di sampingnya yang mungkin tak asing bagi siapapun yang melihat. Dua
buah tongkat yang digunakan bagi penderita cacat kaki dan sejenisnya. Bersama
seorang temannya, pemuda brunette itu masih sabar menunggu bus terakhir yang
akan tiba sekitar sepuluh menit lagi.
“Mana-chan, makanlah ini..” ucap teman si
pemuda brunette itu sambil menyerahkan sebungkus roti dari dalam tasnya. Pemuda
brunette yang disapa Mana-chan-atau dengan nama asli Manabu- itu menerimanya,
namun tak langsung memakannya.
“kau sendiri tidak makan,
Kazu-kun?”
Kazuki, si pemberi roti itu
menyunggingkan senyumnya yang hangat. “aku tidak lapar. Karena aku tau Mana-chan
sedari tadi belum makan, jadi itu untukmu saja” jawabnya lalu membenarkan coat
yang dikenakan Manabu. Ya, hari ini masih terasa suasana musim dingin dan
jangan heran mereka memakai baju berlapis-lapis.
Manabu membuka bungkus roti itu
dan mengeluarkannya. Lagi-lagi ia tak langsung memakannya, ia pun membelah roti
itu menjadi dua. “ini untukmu..” Manabu memberikan potongan setengahnya kepada
Kazuki.
Kazuki kembali tersenyum melihat
adik angkatnya itu. Manabu memang bukanlah adik kandung maupun teman Kazuki,
mereka bertemu pun karena suatu kejadian yang tak terduga. Tiga tahun lalu,
ayah Manabu mengalami kecelakaan mobil saat akan bekerja dan menewaskannya di
tempat. Ibu Manabu yang shock tak bisa menerima kejadian itu, dan terhitung
lima bulan kemudian Ibu Manabu meninggal karena bunuh diri. Di saat itulah
Manabu melihat langsung mayat ibunya tergantung di dapur dan itulah penyebab
psikis Manabu menjadi seperti sekarang ini. Manabu pun sudah tidak punya orang
tua lagi, namun seorang tetangga keluarga mereka merasa bersimpati dan akhirnya
membawa Manabu ke rumahnya, menjadikan Manabu sebagai anak angkatnya.
Bus yang mereka tunggu-tunggu pun
akhirnya datang, segera Kazuki beranjak lebih dulu dan membantu Manabu untuk
berdiri. Kaki kiri Manabu menjadi patah karena ia ditabrak lari oleh seseorang
pengendara mobil dua bulan lalu. Dengan agak sulit Manabu berdiri dan Kazuki
bantu memapahnya sampai ke dalam bus.
***
“tadaima..”
Ucapan salam Kazuki dan Manabu
tidak ada yang menjawab dari dalam rumah. Kazuki tak keberatan membantu Manabu
melepas sepatunya seperti biasa. Mereka masuk ke ruang tamu dan melihat Ibu
Kazuki sedang tertidur dengan kepala tergeletak di meja penghangat. Di
sebelahnya ada beberapa kertas yang berserakan. Kazuki ingin tahu kertas apa
itu, segeranya ia membaca sebuah kertas bertabel di sana.
Catatan biaya rumah sakit.
Sedih Kazuki melihatnya. Ayah dan
Ibunya padahal sudah bekerja keras demi keluarga, tapi catatan tanggungan biaya
Manabu itu membuat Kazuki sarkatis.
“Kazu-kun, itu apa?” Manabu juga
ingin tahu. “bukan apa-apa, Mana-chan mau mandi? Airnya akan kusiapkan” elak
Kazuki. Bagaimana mungkin ia tega memberitahu hal ini pada adiknya? Satu hal
yang akan terjadi adalah, Manabu akan merasa menjadi beban bagi keluarga Kazuki
dan akhirnya Manabu akan mengganti biayanya entah dengan cara apa.
Tentu saja Kazuki tak akan
memberitahunya.
Manabu mengangguk kecil. Tubuhnya
sudah ingin dibasahi air hangat dan menghilangkan lelah setelah seharian ini.
Kazuki membantu Manabu menuju kamar mandi, menyiapkan air dan membawakan
pakaian untuknya.
Sementara Manabu mandi, Kazuki
kembali ke ruang tamu dan membangunkan Ibunya.
“Ibu..” panggilnya pelan.
Sang Ibu terbangun, terlihat
sedikit keterkejutan di wajah separuh bayanya. “Kazuki? Kamu dari tadi? Manabu
?” berbagai macam pertanyaan terlontar. Kazuki mengangguk “Mana-chan sedang
mandi, sebaiknya ini jangan sampai terlihat olehnya.” Kazuki melirik kertas yang
masih terbengkalai itu di atas meja.
Ibu Kazuki kaget dan buru-buru
menyimpuni semua kertas itu menjadi satu. Menaruhnya di laci terdekat yang ia
klaim sebagai tempat yang tidak bisa dijangkau Manabu. “bagaimana kalau Kazuki
juga ikut membantu?” Kazuki menawarkan diri, dan segera mendapat respon tidak
setuju dari sang Ibu.
“kau tidak perlu melakukannya.
Manabu tanggung jawab Ayah dan Ibu, begitu halnya denganmu.”
“jika seandainya Kazuki mendapat pekerjaan, apa Ibu setuju?”
“tapi tidak sekarang. Kau masih sekolah, dan kau juga yang menjaga Manabu
selama di sekolah” tegas sang Ibu.
“Kazuki mengerti”
Bukan Kazuki namanya jika ia tak
bisa mengerjakan apa yang ingin ia lakukan. Selama itu baik dan bermanfaat bagi
orang lain, ia akan melakukannya. Terlebih lagi ini untuk Manabu. Adik angkat
kesayangan sekaligus cintanya.
Kamar yang tak terlalu besar,
dengan dua futon yang terhampar di lantai. Masing-masingnya sudah terisi oleh
dua anak manusia yang akan pergi tidur. Cahaya lampu sengaja dipadamkan,
membuat pantulan cahaya bulan bisa dengan bebas masuk ke kamar mereka melalui
jendela.
Ada beberapa hal yang membuat
mereka tak segera menutup matanya. Kazuki masih teringat akan kata Ibunya,
bahwa dia tak perlu membanting tulang juga demi membayar lunas biaya perawatan Manabu
di rumah sakit. Masih terngiang jelas di telinganya, kalau ialah yang bertugas
menjaga Manabu di sekolah.
“Kazu-kun belum tidur?” tanya
Manabu tiba-tiba. Membuat Kazuki sedikit terkejut dan kemudian membalikkan
badannya menghadap Manabu. Kazuki bisa melihat bentuk hidung Manabu yang lancip
dan beberapa helai poni yang menutupi keningnya. Pemandangan yang tak ingin
Kazuki lewatkan. Manabu terlalu manis.
“Mana-chan
sendiri juga belum tidur?”
“aku tak bisa tidur..”
Kazuki tersenyum samar, ia segera
bangkit dan menggeser futon miliknya lebih dekat dengan Manabu. Ia kembali
berbaring, namun dengan lengan kiri yang ia buka sebagai tempat untuk Manabu
membaringkan kepalanya. Manabu menyambutnya dengan menjadikan lengan kiri
Kazuki sebagai bantal.
“tidurlah.
Hari baik menunggu kita besok..” ucap Kazuki sambil mengusap lembut lengan
Manabu.
“Oyasumi”
Dan kelopak mata mereka pun
menutup bersamaan.
***
Ada yang berbeda dari Kazuki hari
ini. Kazuki hanya mengantar Manabu pulang sampai rumah, setelah itu ia pergi
lagi entah kemana. Manabu sendiri hanya mendapat jawaban dari Kazuki kalau ia
akan pergi ke rumah Jin. Tidak ada alasan spesifik yang bisa membuat Manabu
tenang membiarkan Kazuki pergi hari ini. Tapi Manabu juga tak bisa mencegah
Kazuki pergi, mungkin ada sesuatu yang penting, pikirnya.
Nyatanya Kazuki berbohong. Ia
tidak sedang pergi menemui Jin, ia justru mengunjungi tempat yang ramai penuh
dengan laki-laki berkostum pelayan. Bukan pelayan biasa, mereka dikenal sebagai
butler cosplay. Suatu kesempatan Kazuki bisa bekerja di sana. Kazuki bisa saja
mendapat pekerjaan itu hanya dengan modal wajahnya yang tampan.
Ia memasuki cafe itu dan segera
bertemu dengan sang pemilik. Tak perlu waktu lama untuk menerima Kazuki, sang
pemilik itu langsung menjadikan Kazuki sebagai butler di posisi utama. Ia yakin
dengan adanya Kazuki di cafenya, maka banyak pelanggan wanita yang akan
berkunjung.
Satu set pakaian butler lengkap
yang masih baru dan rapi sangat cocok dikenakan Kazuki. Ditambah pelayanannya
yang ramah, Kazuki dengan cepat disukai pelanggan. Pekerjaan yang tidak begitu
sulit pikir Kazuki, walaupun jam kerjanya yang memakan waktu istirahat
sekolahnya. Tapi demi Manabu, ia rela melakukannya. Tak ada yang bisa membuat
Kazuki berjuang keras lebih dari ini selain Manabu dan keluarganya.
Sudah terhitung enam jam Kazuki
bekerja di cafe. Ia takut saat sesampainya di rumah nanti, ia mendapat banyak
pertanyaan dari Ibunya dan Manabu tentu saja. Dengan langkah yang cepat, Kazuki
menyusuri kota Tokyo di malam hari itu menuju rumahnya.
Setibanya di rumah, Kazuki tak
menemukan Ibunya di ruang tamu seperti biasa. Mungkin sudah tidur, pikirnya. Ia
bergegas ke kamarnya dan mendapati lampunya masih menyala dengan Manabu yang
duduk di kursi belajar.
“Kazu-kun okaeri..” wajah Manabu
terlihat sangat senang dan berusaha berdiri dengan kedua tongkatnya. Segera
Kazuki membantunya berdiri.
“Mana-chan menungguku?” Kazuki
khawatir. Manabu hanya mengangguk kecil.
“aku tak bisa tidur kalau Kazu-kun belum pulang.” Hati Kazuki mencelos saat Manabu
berucap seperti itu. Ia semakin menyayangi adiknya ini.
“sekarang tidur, yuk. Mana-chan
pasti sudah mengantuk” Kazuki memapah Manabu ke futonnya. Membantu Manabu
berbaring dan meletakkan tongkatnya di samping.
“Kazu-kun ngapain aja di rumah Jin-san?”
pertanyaan Manabu membuat Kazuki bingung menjawabnya. Hanya mengerjakan tugas?
Itu tidak mungkin! Berlatih drum? Sepertinya mungkin.
“belajar drum. Mana-chan pernah
lihat Jin bermain drum, kan?”
“iya pernah. Waktu acara ulang tahun sekolah. Dia sangat hebat! Aku juga ingin
belajar!” ucap Manabu bersemangat. Tapi tidak dengan respon Kazuki. Ia justru
khawatir kebohongannya akan diketahui.
“aku rasa mungkin nanti saja. Manabu harus fokus sekolah dulu, ya”
“baiklah, terserah Kazu-kun saja” Manabu menurut. Sebuah kelegaan terlihat dari
wajah Kazuki. Adik angkatnya ini begitu mengerti dan tak pernah membantah semua
yang Kazuki perintahkan. Kazuki jadi sering tak bisa menahan pikirannya yang
bertolak-belakang. Ia merasa mencintai adik angkatnya itu hal yang salah, tapi
Manabu bukanlah adik kandungnya, jadi ia rasa itu hal yang wajar.
Kazuki masih bisa menguasai
pikiran dan tindakannya walaupun berada di dekat Manabu serasa nyaris membuat
jantungnya lepas. Ia hanya bisa menuangkan rasa cintanya hanya sebatas kasih sayang
terhadap adiknya. Tidak lebih.
Hampir empat tahun hidup bersama
adik angkatnya tak membuat perasaan cintanya menghilang. Justru ia semakin
ingin melindunginya, ia tak bisa membiarkan Manabu dengan kondisinya yang rapuh
seperti saat ini.
Teringat saat pertama kali mereka
berkenalan sebagai tetangga, sekitar awal musim gugur di tahun pertama sekolah
menengah pertama. Sebelumnya mereka masih tak saling menyapa karena Manabu yang
selalu masuk ke dalam rumah ketika ia bertemu Kazuki di depan rumahnya. Kazuki
juga tak mengerti waktu itu. Ketakutan Manabu untuk tidak mau berkenalan dengan
Kazuki pun sudah berlangsung selama hampir setahun. Akhirnya Kazuki memutuskan
berkunjung ke rumah Manabu untuk memberi kue muffin-buatan ibunya- sebagai
tanda perkenalan.
Kazuki sangat tidak sabar ingin
berkenalan dengan Manabu. Ia ingin bermain dengan anak itu, karena selama ini
Kazuki jarang bermain dengan anak-anak seusianya di kompleknya. Kazuki pun
memencet bel rumah Manabu. Dan tak lama kemudian pintu pun terbuka.
“hai~” sapa Kazuki ramah. Kedua
tangannya sibuk memegang bingkisan kue di depannya. Namun raut wajah si pembuka
pintu-Manabu- tidak menunjukkan ekspresi ramah sama sekali. Ia justru akan
menutup kembali pintunya.
“chotto matte!!” “cegah Kazuki
dan berhasil membuat pintu itu kembali terbuka.
“mau apa kau?” tanya Manabu ketus. Kazuki berusaha bersabar.
“aku ingin berkenalan denganmu.
Ini sebagai tanda perkenalan. Namaku Kazuki” Kazuki tersenyum hangat sembari
menyerahkan kue muffin itu ke arah Manabu. Manabu menerimanya dengan sedikit
kikuk. Ia tak pernah mendapat perlakuan seperti ini dari orang lain. Dan
sekarang ia bingung harus bagaimana membalasnya. “..ah, terima kasih. Namaku
Manabu”
Kazuki kembali tersenyum melihat
ekspresi Manabu yang sedikit malu dan terlihat warna tipis kemerahan di
pipinya. Kazuki yakin ia pasti bisa bermain dengan anak ini.
“yosh, Mana-kun. Aku permisi
dulu, kapan-kapan kita main bersama ya~”
***
“Kazu-kun”
Tubuh Kazuki menggeliat seakan
tidurnya yang kurang itu terganggu. Matanya sangat berat untuk terbuka. Namun
panggilan untuknya kembali terdengar lebih jelas.
“Kazu-kun, bangun..”
Kazuki menyadari siapa yang
memanggilnya barusan. Manabu bermaksud membangunkannya agar pagi ini mereka tak
terlambat pergi ke sekolah. Kazuki pun bangun dan memulihkan seluruh
kesadarannya. Ia melihat Manabu di sampingnya masih mengenakan piyama. Tugas
Kazuki setelah ini adalah mengantarkan Manabu ke kamar mandi dan membantunya
untuk mandi.
Kazuki selalu mendahulukan
kepentingan Manabu dibanding dirinya. Karena Manabu tak bisa melakukan hal
banyak tanpa bantuan Kazuki di saat kondisinya seperti ini. Kazuki sama sekali
tak keberatan dan mempermasalahkan itu semua.
Selama ia masih bisa
melakukannya, kenapa tidak?
***
Tak terasa sudah sebulan aku
bekerja part time di cafe itu. Ini saatnya aku mendapatkan gaji pertamaku. Uang
penghasilan yang akan kuberikan semua untuk penambahan biaya rumah sakit
Manabu. Aku tak sabar ingin segera pulang ke rumah, menemui Ibu dan menyerahkan
uang ini.
“Ibu.. Mana-chan.. aku pulang”
Sepi. Ibu ke mana? Tak biasanya
jam segini tidak ada di rumah. Kutengok seisi rumah, dan saat mengecek di
dapur, kutemukan secarik kertas catatan tertempel di pintu lemari es. Dari Ibu.
Ibu pergi ke rumah paman Kojima,
istrinya sedang sakit.
mungkin Ibu akan pulang malam.
dan di panci ada sup, kalau lapar hangatkan saja.
-Ibu-
Bibi Rui sakit? Sekarang Ibu
sedang tidak ada, Ayah juga masih bekerja. Itu artinya hanya ada aku dan Manabu
sampai nanti malam. Sebaiknya kusimpan uang ini di kamar Ibu. Bila ketahuan
Manabu bisa bahaya.
“Mana-chan? Aku pulang” begitu
kubuka pintu geser kamarku, kutemukan Manabu tergeletak di lantai dengan nafas
terengah-engah.
“MANA-CHAN!!! Kau kenapa ????!!”
tanyaku panik. Aku bersimpuh dan menopang tubuhnya agar dapat bertahan.
Nafasnya masih tersengal-sengal dan wajahnya berkeringat banyak. Kepegang
pipinya dan terasa panas sekali. Dia demam!
“bertahanlah sebentar, aku
ambilkan obat di bawah!” Secepat yang kubisa, kuturuni tangga dengan berlari.
Mengambil obat penurun panas di kotak obat. Tak lupa air dingin dan handuk
untuk mengurangi suhu panasnya.
Kuangkat tubuh kecilnya ke atas
futon dan menyelimutinya. Keningnya yang tertutup poni kusibak ke samping untuk
kuletakkan handuk dingin di sana. Wajahnya pucat sekali. Aku khawatir dia
sedang tidak demam biasa.
“Mana-chan, minumlah ini” kuambil
satu tablet obat penurun panas dari tempatnya. Kucoba Manabu untuk tidak
memuntahkannya, karena ia paling tidak suka obat jenis ini.
“uhuk..uhuk..”
“angkat lenganmu sedikit” kuletakkan termometer itu di ketiaknya hingga
beberapa saat. Dan suhu badannya memang sangat tinggi.
“Mana-chan, kita ke dokter ya.
Aku takut obatnya tak bekerja.”
“tidak perlu..uhuk.. Kazu-kun..”
Watak keras kepalanya sampai sekarang masih belum hilang, padahal ia sedang
sakit sekarang. Suaranya menjadi serak dan aneh, ditambah hanya setengah
matanya saja yang terbuka saat menatapku.
“Jangan-jangan Mana-chan belum
makan?” Manabu mengangguk pelan. Hanya gerakan terbatas itu yang dapat ia
lakukan. “aku buatkan bubur sebentar. Mana-chan berbaring saja, tapi jangan
tidur.” Saat aku akan bangkit, pergerakanku terhenti saat Manabu menarik
tanganku kembali. “jangan pergi.uhuk..”
“tunggu sebentar saja. Aku ingin
Mana-chan sembuh.” Perlahan genggaman tangannya melonggar, ia menatapku sayu
seperti tak mau aku tinggalkan. “cepat kembali..” pintanya sebelum aku menuju
dapur dan memasakkan bubur untuknya.
Entah aku merasa ada yang
mengganjal saat Manabu tak ingin aku tinggalkan tadi. Pancaran matanya jauh
lebih menyedihkan, aku jadi tak tega melihatnya. Manabu tak pernah bersikap
seperti ini saat ia sakit demam sebelum-sebelumnya. Ia justru tidak ingin aku
kerepotan karenanya. Tapi tadi? Saat tangannya menyentuhku, rasanya dingin. Ia
seperti ingin bertukar suhu tubuh padaku. Ah, berpikir apa aku ini? tentu saja
Manabu akan baik-baik saja. Selama ia menurut untuk minum obat dan makan bubur
ini.
Ya, bubur ala Kazuki akhirnya
selesai! Kutuang beberapa sendok ke dalam mangkuk kesayangan Manabu. Aku harap
dengan begini bisa menjadi sugesti untuk kesembuhannya.
“Mana-chan, makan dulu ya.
Setelah ini baru boleh tidur” dan sebagai kakak yang baik, aku yang akan
menyuapinya. Menunggu makanan yang masuk ke mulutnya habis tertelan dan kembali
menyuapinya memang perlu kesabaran. Tapi itu semua tak berlaku padaku,
menunggunya seperti itu menjadi momen penting saat kulihat garis wajahnya yang
terbilang cantik. Bibir kecilnya yang pucat perlahan mulai memerah. Manis
sekali. Ditambah lagi dengan iris mata coklatnya yang mampu menenangkanku
sesaat. Aku rasa aku tak butuh apapun lagi di dunia ini selain kehadiran Manabu
di sisiku.
“sudah..”
“eh? Sudah cukup?” Manabu
mengangguk. Ia menyudahi makannya yang masih menyisakan beberapa sendok lagi
jika ia mau memakannya.
“Kazu-kun, bisa temani aku sampai
tertidur?” sungguh Manabu, aku tak akan menolak apapun yang kau minta.
“baiklah. Sekarang tidur ya..” ucapku tersenyum. Aku hanya bisa membelai puncak
kepalanya dan membiarkannya tertidur hingga demamnya sembuh.
Sesuai permintaannya, aku
menemaninya tidur dengan berjaga di sampingnya. Mengganti handuk yang ada di
keningnya jika sudah mulai panas dengan yang baru. Sesekali ku cek suhu
tubuhnya dengan termometer. Hingga kurasakan tubuhku juga mulai kelelahan
sedari pagi tadi. Aku pun ikut tertidur di sisinya.
***
Samar kurasakan indera penciumanku
menangkap bau seperti asap. Aneh, di dalam rumah muncul bau asap hasil
pembakaran sesuatu. Tapi, semakin lama baunya semakin membuatku sesak. Aku
terbangun sepenuhnya dan melihat ruangan kamar kami menjadi penuh asap. Segera
kubangunkan Manabu.
“Mana-chan bangun!”
“uhuk.. Kazu-kun.. ada asap..
uhuk..” Manabu terbatuk setiap kali ia mengambil nafas yang sudah teracuni asap
sialan ini. Dari mana asap ini berasal?
“aku akan turun mengecek dapur.
Aku segera kembali.” Sebelumnya jendela kamar kubuka lebar-lebar agar asapnya
dapat keluar.
Aku bergegas ke dapur dan kakiku
lemas seketika. Api sudah mulai membakar sebagian dapur rumah. Buru-buru
kuambil air sebanyak-banyaknya dari kamar mandi. Kenapa bisa begini?!
Sial! Aku baru sadar jika aku
belum sempat mematikan kompor setelah memasak bubur tadi. Apa yang sudah
kuperbuat pada rumah ini?
Sebanyak apapun sepertinya
percuma menyiramkan air pada api yang sudah berkobar luas ini. Ya Tuhan, aku
tak bisa berbuat apa-apa lagi.. rumah ini sudah tak bisa diselamatkan.
Manabu!!
Sekuat tenaga kuberlari menaiki
tangga. Tak peduli api di sekilingku sudah membakar tanganku. Aku harus
menyelamatkannya. Manabu, bertahanlah!
“Mana-chan! Syukurlah kau masih
baik-baik saja” dengan cepat kupeluk makhluk yang masih terbaring di sana.
Dengan terbatuk-batuk ia berusaha menahan nafasnya dari kepulan asap ini. “kita
akan keluar. Pegang pundakku yang erat.” Aku berjongkok di depannya dan
membiarkan kedua lengannya terkalung di leherku. Kugendong tubuhnya sementara
tanganku yang bebas kugunakan untuk membawa tongkat Manabu.
Saat hendak keluar, beberapa
potongan kayu yang terbakar jatuh di depanku. Nyaris membuat kami terperangkap
di sana.
“Kazu-kun.. uhuk..aku sudah tidak tahan
lagi..uhuk..”
“sedikit lagi Mana-chan, kita
akan keluar”
Lagi-lagi, bagian rumah yang
terbakar berjatuhan membuatku kewalahan. Rumah ini sudah terbakar sepenuhnya.
Tak ada lagi celah untuk kami bisa keluar. Dan di saat inilah aku benar-benar
menangis. Aku tak bisa menyelamatkan Manabu.
Ini semua salahku! Aku yang sudah
membuatnya seperti ini!
“Kazu-kun, jangan tinggalkan aku”
bisiknya di telingaku. “aku ada di sini. Aku tak akan meninggalkanmu sendiri.”
kemudian aku terduduk di lantai dengan sekeliling yang sudah terbakar. Tempat
ini yang baru kemarin masih kami gunakan sebagai ruang tamu. Aku hanya bisa
pasrah menunggu pertolongan datang.
Kutengok Manabu seperti membuka
mulutnya hendak berbicara, “jika ini sudah saatnya, aku ingin terus bersamamu.”
DEG
Tanpa aba-aba, aku refleks
memeluk Manabu yang saat ini tengah terisak. Kuusap kepalanya lembut dan
membenamkan wajahnya di dadaku. Ingin rasanya aku mengungkapkan apa yang selama
ini kupendam padanya. Aku mencintaimu Manabu.. tapi, aku takut kau akan
menolakku, dan mengakhiri hubungan antar kakak-adik yang sudah kita bangun
bersama selama ini..
Tubuhku semakin panas saat
kulihat balok kayu di belakangku hampir membakar baju yang kukenakan. Aku tak
peduli jika aku mati, yang harus kulindungi adalah Manabu.
“Kazu-kun terima kasih..”
“bertahanlah kumohon.. bantuan
akan segera datang..hik” aku tak kuasa menahan air mata yang sedari tadi terus
kubendung. Manabu menutup kedua matanya dan kembali berada di pelukanku dengan
tenang.
Aku harap Manabu hanya tertidur.
Tapi detak jantungnya.... menghilang.
Kuangkat wajahnya yang mulai
pucat dan dingin.
Manabu maafkan aku..
“aku mencintaimu Mana-chan. Sungguh aku sangat
mencintaimu... kumohon bangun..hiks..”
Makin kuerat pelukanku. Aku tak
ingin kehilanganmu. Kenapa kau meninggalkanku Manabu? Kenapa??!!
KREK
Balok kayu berapi dari atas
kembali jatuh, dan aku sama sekali tak bisa menghindar. Yang kulakukan hanya
melindungi Manabu dengan punggungku. Sakit dan panas ketika balok kayu itu
menghantam tubuh belakangku.
Hingga detik-detik terakhir aku
dapat merasakan sisa hidupku yang semakin dekat ini. Aku sudah merelakan
semuanya. Aku akan berakhir di sini. Tapi aku bahagia bisa menghabiskan hidupku
bersama orang yang sangat kucintai, hingga hembusan nafasku yang terakhir..
***
Upacara pemakaman di keluarga
Kazuki berlangsung khidmat di hari mendung itu. Kebakaran hebat yang melanda
rumah Kazuki berhasil dipadamkan sebelum meluas ke rumah lainnya. Namun sayang,
pemadam kebakaran terlambat menyelamatkan dua penghuni rumah yang terjebak di
dalamnya.
Petugas pemadam menemukan keduanya
sudah tidak bernyawa dengan posisi Kazuki tengah memeluk erat Manabu. Dengan
segera mereka dibawa keluar untuk dievakuasi. Berdasarkan hasil dari rumah
sakit, Manabu meninggal karena sesak nafas akibat asap kebakaran, sedangkan
Kazuki disebabkan luka bakar yang parah di tubuh bagian belakangnya.
Ayah dan Ibu Kazuki segera datang
setelah dihubungi oleh salah satu tetangga. Tangisan mereka pecah saat melihat
kedua anaknya meregang nyawa dengan kondisi seperti itu.
Di hari inilah, Kazuki dan Manabu
dimakamkan berdampingan. Di bawah tetesan hujan yang mulai berjatuhan. Ibu
Kazuki masih belum bisa menerima kenyataan ini. Ia tak butuh payung saat ini,
sehingga tangisannya bercampur dengan air hujan yang terus membasahinya. Beberapa
kali Ayah Kazuki mengusap lembut pundak istrinya agar lebih tenang. Mereka
masih bertahan walaupun semua yang menghadiri pemakaman tadi sudah kembali pulang.
“kita juga harus pulang” ajak
Ayah Kazuki pelan. Ia tau emosi istrinya sedang tidak stabil.
“hiks.. tapi Kazuki Manabu..?”
“mereka pasti tenang di sana. Yakinlah
itu, sayang.”
Dengan sedikit keberatan hati,
Ibu Kazuki pun akhirnya menurut untuk pulang bersama suaminya. Meninggalkan dua
anaknya yang sudah terkubur di dalam peti mati. Tanpa mereka ketahui, dua sosok
anak mereka melihat apa yang barusan terjadi pada orang tuanya. Dengan sosok tembus pandang seperti kabut,
mereka tersenyum tipis.
Semakin hujan terus turun, sosok
mereka pun menghilang. Seiring kebahagiaan yang mereka bawa hingga kematiannya.
Untuk sisa akhir hidupku, aku bahagia
karenamu.
-Kazuki-
OWARI