Title : Sweets
Macaron
Author : Hikari Ogata a.k.a Eri Tonooka
Chapter : OneShoot
Pair : ShouXHiroto (mou)
Genre : Angst, Drama
A/N : jangan terjebak oleh judul yang keliatannya fluff banget.
Author : Hikari Ogata a.k.a Eri Tonooka
Chapter : OneShoot
Pair : ShouXHiroto (mou)
Genre : Angst, Drama
A/N : jangan terjebak oleh judul yang keliatannya fluff banget.
Notes : Font Normal
= Masa sekarang
Font Italic = Masa lalu
Font Italic = Masa lalu
Sweets Macaron
Kesalahan
terbesar dalam hidupku mungkin adalah saat ini. Tak bisa menemanimu mungkin
untuk yang terakhir karena keegoisanku. Setiap aku mengingatnya kembali, aku
merasa akulah orang terbodoh di dunia karena tak mau meluangkan waktu
sedikitpun untuk kekasihnya sendiri. Aku tak pernah menduga akan berakhir
seperti ini. Melihatmu terbaring sangat lemah di ruangan menyeramkan sana,
hatiku terasa sakit. Aku tak bisa meringankan kesakitanmu dengan belaian tanganku. Tak bisa memberikan
keceriaan untukmu, seperti yang pernah kau lakukan padaku dulu.
Aku
jadi tertawa sendiri, mengingat dulu aku mau menerimamu menjadi kekasihku.
Walau sampai sekarang pun masih, tapi kau tak tau dulu aku menerimamu hanyalah
untuk pelampiasanku pada gadis-gadis brengsek yang pernah kupacari sebelumnya. Dengan
wajah polosmu, kau mendekatiku malu-malu dan mulai menyatakan cinta. Ditambah
sebuah coklat batangan yang setahuku adalah coklat cukup mahal di Tokyo, kau
memberikannya padaku sebagai tanda cinta. Tapi aku yang dulu tak peduli
darimana kau mendapatkan uang untuk bisa membeli coklat semahal itu.
Senyumku
pun terkembang secara spontan, kau datang di saat yang tepat. Di saat
gadis-gadis itu berhasil memacariku hanya karena uang. Tak ada cinta berarti
yang mereka berikan padaku, barang satu gadis pun. Namun kau tidak. Sejak
pertama kali kau resmi denganku, kau selalu memperhatikanku tanpa
menyinggung-nyinggung soal uang. Dan kau juga pernah berkata yang sampai saat
ini aku masih mengingatnya dengan jelas...
“senpai tau tidak
seberapa besar rasa cinta dan sayangku pada senpai?” celetuknya saat ia
menyuapiku dengan kue mungil dan manis bernama macaron itu.
Aku mengunyahnya pelan
sambil berlagak berpikir, dan sebenarnya saat itu aku sedang tak
mempedulikannya. Pikiranku malah menerawang jauh pada seorang gadis-mantan
pacarku-yang hampir membuatku tak bisa melupakannya. Karena mungkin aku terlalu
lama diam, akhirnya ia lagi yang membuka pembicaraan.
“besarnya cintaku pada
senpai tak bisa diungkapkan dengan hal apapun..” ucapnya bahagia sambil
menyunggingkan senyumnya lebar. Aku sangat tau kalau dia benar-benar
mencintaiku, tapi sayangnya aku tidak. “dan kalau aku boleh meminta, nanti
sebelum aku mati, aku ingin senpai ada di dekatku. Menemaniku sebentar sebelum
aku tak bisa melihat senpai lagi”
Terkejut memang aku
mendengar dari seorang periang seperti dia. Hal yang selalu ia bicarakan adalah
sesuatu yang cukup menyenangkan, tapi kali ini berbeda. Seolah-olah ia akan
mati besok dan aku harus menemaninya sebelum ia berpindah ke dalam tanah.
Entah aku harus
berekspresi apa. Hanya anggukan kecil, dan senyum tipis tanda persetujuan. Dan
kembali ia menyuapiku dengan macaron-macaron mungil berwarna magenta pucat itu.
Rasa yang manis untuk
ukuran sekecil itu, dan mungkin perasaannya padaku bisa diibaratkan seperti
macaron ini.
Layaknya anak muda yang
dilanda kasmaran, ia selalu mencuri kesempatan untuk mencium pipiku. Tak pernah
sekalipun ia mencoba mencium bibirku. Itu adalah kebiasaannya yang aku sama
sekali tak mempermasalahkannya. Dan pelan-pelan aku menyadari kalau ia tak
berminat pada uang-uangku, melainkan sebuah kepedulian dan kasih sayang padaku
untuknya.
Sangat
jelas terpatri diingatanku betapa ia sangat mencintaiku. Lebih dari nyawanya
sendiri.
Sudah empat hari Hiroto tidak masuk sekolah. Alasannya biasa, hanya sakit. Tapi apa sakit demam bisa sampai berhari-hari?! Teman-teman dan guru pun tak ada yang menjenguknya, mereka beropini kalau Hiroto hanya mengidap hipotermia akut karena lima hari sebelumnya ia dan teman sekelasnya sedang ada tes renang. Mungkin air yang dipakai terlalu dingin untuknya, jadi keesokan harinya ia langsung terserang demam. Begitu pun dengan Shou, pacar Hiroto yang duduk di kelas dua tingkat lebih atas itu. Ia tak terlalu peduli dengan Hiroto yang empat hari terakhir tak menemuinya ke kelas sambil membawa bekal bento untuk dirinya. Sempat ia khawatir tapi untuk apa, Shou sama sekali tak mencintainya. Hiroto adalah pelampiasan Shou agar Shou tak dibilang pecundang oleh teman-temannya.
Namun empat hari itu
makin bertambah menjadi seminggu, dan
dua minggu. Tepat dua minggu sudah Hiroto tak menginjakkan kakinya di sekolah.
Dan rasa khawatir itu mencuat keluar dari diri Shou. Ia berinisiatif untuk ke
rumah Hiroto selepas pulang sekolah ini.
Sebelum ke sana ia
sengaja mampir ke sebuah toko kue dan membungkus dua kotak macaron untuk dibawa
sebagai ‘bingkisan cepat sembuh’ untuk Hiroto.
Sampai di depan rumah,
Shou di sambut ramah oleh sepupu Hiroto-yang kebetulan adalah teman sekelas
Hiroto-. Shou menjelaskan kedatangannya, namun Saga-sepupu Hiroto- berubah
murung.
“maaf senpai, Hiroto
tidak ada di rumah sekarang” ucapnya menutupi wajah sedihnya.
“lalu?”
“dia di rumah sakit”
Imajinasi Shou sudah
menjalar ke mana-mana. Ia benar-benar khawatir akan hal ini.
“apa demamnya sudah separah itu?”
Saga menggeleng,
“alasan sakit demam itu bohong. Ia tak demam sama sekali, atau hipotermia
apalah yang mereka katakan,,”
Shou semakin bingung,
ia guncangkan bahu Saga untuk dan membombardirnya dengan pertanyaan.
“lalu dia sakit apa?!”
seru Shou sedikit membentak
Berat rasanya Saga
mengatakannya, ia seperti takut menambah kelakuan dosa pada Hiroto. Karena
sebelumnya Hiroto berpesan pada Saga agar ia tak memberithukan kepada siapapun
tentang sakit apa yang ia derita, termasuk Shou sekalipun.
Namun akhirnya dengan
paksaan Shou, Saga pun membuka mulutnya juga..
“dia coma”
Shou menundukkan
kepalanya, menggenggam bungkusan bening kue macaron itu dengan sangat erat.
Bisa ia rasakan telapak tangannya sudah tercap ujung kuku-kukunya. Sakit, lebih
sakit dibanding ia ditinggal gadis-gadisnya yang terdahulu. Inikah keegoisan
seorang Shou sampai-sampai kekasihnya sedang coma, ia sendiri tak tahu.
“bawa aku ke sana
sekarang!!”
“tapi—”
“cepat atau aku akan
memukulmu,,!!”
“bb—baik”
Bukan
karena air yang terlalu dingin di kolam renang kemarin, dan juga bukan
kelalaian Shou menjaga Hiroto. Apa yang di derita Hiroto selama kurang lebih
dua minggu ini adalah hal alami yang membahayakan. Sesuatu yang membuat Shou
sangat terpukul sampai seperti ini. Ia terus menunggu di luar ruang ICU sambil
terus menatap ke dalam di mana Hiroto terbaring lemah di sana. Shou sedih
melihat beberepa selang itu ada yang masuk ke hidung, dan ada yang berujung
jarum dan ditancapkan di punggung tangan Hiroto. Hiroto seperti mayat berbalut
selang dengan irama menyakitkan dari komputer pendeteksi kehidupan di
sampingnya.
Saga melihat Shou dari jauh sangat prihatin. Dalam benaknya, Hiroto pasti akan sangat senang jika orang yang ia cintai kini mengkhawatirkan hidupnya dan terus menunggu di luar kamar ICU. Tak kuasa Saga menitikkan air mata, mengingat Hiroto menderita hampir seumur hidupnya..
Ia menghampiri Shou yang masih menatap sedih kekasihnya di dalam sana. Menyejajarkan diri dengan berdiri di samping Shou, sama-sama melihat pemuda yang masih belum membuka matanya itu.
“Hiroto sakit apa?” tanya Shou yang terdengar janggal di telinga Saga. Padahal Shou dan Hiroto sudah berpacaran kurang lebih setahun, tapi Shou sama sekali tak mengetahui kehidupan Hiroto.
Saga
menghela napas, masih menatap lurus ke dalam dinding kaca. “sejak umur tujuh
tahun, dokter memberitahu keluarganya kalau otaknya bersarang tumor kecil,,”
“,,dan
kemarin ia periksa, kalau tumornya sudah mulai membesar dan harus segera di
operasi. Sebenarnya, dia coma setelah operasi yang berlangsung tiga hari
kemarin”
Ironis sekali. Di saat hari yang sama, Hiroto sedang menjalani operasi yang berakhir coma, sedangkan Shou di tempat lain tengah bersenang-senang dengan teman-temannya. Makin berdosalah ia terhadap kekasihnya sendiri.
“kenapa kau tak memberitahuku,,”
“Hiroto melarangku memberitahu pada siapapun”
“apa kau tau kalau akan sangat buruk jika kau tak memberitahukannya sama sekali!” marah Shou. Dadanya terasa panas dan sesak, ingin rasanya menumpahkan emosinya di situ.
Namun
secara tak sengaaja, kedua bola mata Shou menjatuhkan butir-butir air yang
meluncur mulus. Ia tak terisak, hanya alisnya yang tertaut dan bibirnya yang
sedikit bergetar. Terdengar bisikan kecil sebuah nama dari getaran bibirnya.
Hiroto, Hiroto, dan Hiroto.
Shou
terus mengulang nama itu, sampai Saga menyodorkan selembar tissue dari bungkusannya.
“presentase
ia akan bangun hanya 0,1 persen. Begitu kata dokter,,”
Refleks
Shou menatap Saga lekat-lekat “apa maksudmu hanya 0,1 persen??!!”
“tapi
keajaiban bisa saja terjadi. Dan kita tidak tau apa keajaiban itu akan didapat
Hiroto atau tidak”
Harapan Shou untuk melihat Hiroto sembuh semakin pupus. Hanya 0,1 persen, tidak ada yang bisa dilakukan Shou untuk menyelamatkan Hiroto dari maut. Ia kembali menangis, namun dengan isakan yang menyayat hati siapa saja yang mendengarnya.
Terduduk
lemas ia di kursi tunggu rumah sakit. Memijit pelipisnya yang terus berdenyut
tak karuan. Perasaannya bercampur aduk, antara sedih, bingung, merasa bersalah,
dan sedikit marah.
Saga
kembali mengikuti jejak Shou dengan duduk di sebelahnya, mengusap punggung Shou
agar ia tenang. “Hiroto pasti akan sembuh, senpai...”
Hari berikutnya, Shou kembali lagi menjenguk Hiroto. Kata dokter, Hiroto bisa dijenguk namun dengan jumlah orang yang sedikit. Shou masuk ke ruangan, membuka dan menutup pintu sepelan mungkin, walau ia tau itu tak akan berpengaruh pada Hiroto yang sekarang tak mendengar suara apapun.
Dua
kotak macaron kemarin yang ia letakkan di meja Hiroto masih dengan kondisi
semula. Dingin dan tak tersentuh. Shou mengambil sekotak macaron dan
membukanya, dilihatnya macaron-macaron manis yang beraneka warna itu.
Ingatannya
terulang lagi ketika mereka sudah berada di toko kue langganan Hiroto. Mereka
berbincang diselingi acara makan cemilan kue favorit Hiroto. Macaron.
Shou
berharap dengan membawakan kue kesukaan sang kekasih, maka itu akan membuatnya
bangun dari tidur panjangnya selama ini. bangun dan kembali memeluk Shou. Ya,
sekarang Shou sudah mulai membuka hatinya untuk Hiroto. Jujur, ia tulus
mencintai Hiroto.
“Hiropon, cepatlah bangun.. aku mencemaskanmu..” lirihnya dengan pandangan sayu.
Pemuda
yang berbaring di depannya itu tak bergerak sama sekali, tangannya dingin dan
selang-selang itu membuka sedikit mulut yang seharusnya tertutup itu. Tubuhnya
makin kurus sejak Shou melihatnya dua minggu yang lalu. Namun itulah yang
membuat Shou tak ingin kehilangan Hiroto.
Shou
mengangkat sedikit kotak macaron yang ia buka tadi dan memperlihatkannya ke
arah Hiroto, “lihat apa yang ada di sini, macaron kesukaanmu..”
“aku
merindukanmu,, aku menyayangimu..” ia letakkan kembali kotak itu dan memandang
Hiroto lagi.
“aku tak bisa hidup tanpamu.... kumohon bangun Hiroto... aku benar-benar mencintaimu.. hik,,”
Shou
menenggelamkan kepalanya di tepi ranjang, terus menggenggam tangan kanan Hiroto
yang tertancap jarum infus. Ia menangis lagi, air matanya tumpah membasahi
punggung tangan Hiroto. Walau Hiroto masih ada, tapi Shou sudah seperti
kehilangan sosok kekasihnya.
Lama
ia menangis di situ sampai tenggorokannya sakit karena terus memanggil nama
Hiroto. Saat ia diam, Shou merasakan punggung tangan Hiroto yang sedari tadi ia
genggam mulai menghangat dan sedikit menimbulkan gerakan. Ia juga bisa
mendengar desahan nafas seseorang. Shou refleks mengangkat kepalanya dan
melihat wajah Hiroto.
Ia
bisa melihat kedua mata Hiroto terbuka dengan sangat pelan. Bernafaspun sangat
kesusahan sampai Hiroto bernafas melalui mulut.
Bahagia
terpancar jelas dari wajah Shou. Ia terus menepuk pipinya berulang kali kalau
ini bukanlah mimpi. Ini nyata, dan setelah melewati dua minggu coma, akhirnya
Hiroto pun bangun. Hanya dengan mendengar suara isi hati dari seorang Shou.
“Sh..ou..”
Bak
roh yang kembali masuk ke dalam raga Shou, ia sangat bersemangat tatkala Hiroto
memanggilnya, “iya, aku di sini”
“Hiropon,,, syukurlah akhirnya kau bangun..Aku
sangat merindukanmu”
Senyumnya
tersungging lemah, tak seperti saat ia masih sehat dulu. Shou menyibak poni
yang menutupi kening Hiroto dan mulai menciumnya. Shou benar-benar bahagia,
malaikatnya kembali membuka mata, dan terlebih lagi namanya lah yang disebut
pertama kali.
Wajah Shou kembali turun dan berhenti di telinga Hiroto, seraya berbisik "daisuki...”
“boku
mo,,”
“cepatlah sembuh, dan bersamaku lagi,,”
Hiroto
tak menjawab, ia hanya tersenyum dan menutup pelan matanya lagi.
Shou
tak berharap bangunnya Hiroto adalah untuk mengucapkan kata terakhirnya. Senyum
bahagia itu berubah menjadi tangisan kehilangan. Tepat di saat itu, alat detak
jantung berbunyi tanpa terputus, dan sang kekasih yang dulu sempat tak ia
cintai kini tak ada lagi yang akan mengusiknya.
Untuk
yang kesekian kali, Shou kehilangan kekasih yang ia cintai.
OWARI
Sweets Macaron