Title: The Truth
Author: Eri Matsumoto
Pairings: ShouXHiroto
Genre: angst, sho-ai, fluff
Chapter: Oneshot
A/N: fanfic baru yeeeyy \^^/ Ini adalah ff yang muncul di saat kemaren gw ikut
talkshow nya bang Raditya Dika dan materinya seputar menulis. Gw pun semangat
nulis lagi, dan ini cukup meredakan hasrat (?) nulis ff gw. Walaupun masih jauh
dari kata bener baik dari segi penulisan, karakter dll. betewe, ini fic pendek
cuma jadi 5 halaman doang (buat pemanasan ceritanya, halah XD) Happy reading J
The Truth
Sigur
ros - Samskeyti
Tidak ada hal yang berarti bagi Shou saat ia bertemu
dengan bocah pirang itu. Tidak ada yang spesial pikirnya. Namun mungkin saja ia
keliru, bisa jadi perkenalannya dengan Hiroto adalah momen yang akan menentukan
kehidupannya selanjutnya.
Nobody knows.
***
Hiroto mengetahui segala sesuatu tentang Shou. Apapun
itu. Segala hal yang Shou sukai, yang Shou benci, sampai rasa cinta Shou kepada
orang bernama Saga Hiroto juga mengetahuinya. Bukan sesuatu yang mengenakkan
bagi Hiroto untuk tau siapa peran Saga di hidup Shou. Sementara ia sendiri
tengah dilanda konflik batin yang hebat antara perasaannya terhadap Shou.
Mungkin bagi Shou, ia sama sekali tak mengingat saat-saat ia bertemu dengan
Hiroto. Namun Hiroto menganggapnya berbeda. Bocah pirang itu
mengingatnya-sangat mengingatnya-, saat tangan Shou terulur memberikan bantuan
kepada Hiroto yang terjatuh, saat suara malaikat itu ingin tahu apa Hiroto
baik-baik saja, dan sebuah senyuman tersungging di bibir Shou saat tahu kalau
Hiroto tidak terluka sedikitpun.
Mungkin Shou memang baik pada siapapun, bukan hanya
Hiroto seorang. Tapi kebaikan itulah yang membuat Hiroto tak bisa menghindar.
Shou terlalu baik, bahkan Hiroto pernah melihat sendiri ketika Shou berhenti di
taman kota hanya untuk menenangkan gadis kecil yang tertinggal orang tuanya. Padahal
saat itu Shou nyaris terlambat masuk sekolah, dan Hiroto tahu akan hal itu.
Itulah sebabnya mereka terlambat masuk sekolah bersamaan, dan dihukum berdiri
di koridor bersamaan pula. Satu momen indah bagi Hiroto, tapi mungkin tidak
bagi Shou.
Mereka tidak terlalu dekat saat di kelas karena
Hiroto yang cenderung ‘mengisolasi’ diri dari yang lain. Namun di beberapa
kesempatan, Hiroto mencoba untuk berbaur-terutama pada Shou-. Ia seringkali
berbohong dengan sengaja, berpura-pura menghilangkan pulpennya atau sekadar
meminjam catatan Shou. Menurutnya itu sudah lebih baik daripada ia hanya menjadi
‘stalker’ kampungan yang tiap harinya hanya melihat Shou dari jarak jauh.
Hiroto sama sekali tidak mempermasalahkan keputusan
Shou saat mengencani Saga seminggu yang lalu. Ia bahkan rela jika ia diminta
untuk menjadi sekadar ‘obat nyamuk’ di antara mereka berdua. Tapi satu hal yang
Hiroto tak bisa hanya berdiam diri saja. Saga mengkhianati Shou. Efek sakit
hati yang mendalam tak hanya dirasakan Shou semata, tapi Hiroto merasakannya.
Sakit. Lebih sakit saat Hiroto melihat Shou memeluk dan mencium Saga selama
ini.
Satu tindakan nekad yang Hiroto lakukan saat itu
adalah memukul perut Saga tepat di hadapan Shou. Hiroto tiba-tiba saja datang
saat mereka tengah berdua yang Hiroto yakini sebagai pengakuan Saga telah
mengkhianati Shou selama ini. Shou dan Saga dengan segala kebingungannya
melihat Hiroto dengan penuh tanda tanya. Shou hanya mengenal Hiroto sebagai
classmate yang akhir-akhir ini sering berbincang padanya, dan Saga hanya
mengenal Hiroto sebagai bocah introvert yang tidak penting di kelas. Namun semua
ekspektasi Saga mengenai Hiroto berubah seketika saat bocah pirang di
depannya ini berteriak padanya dan
menangis. Di situlah Shou dan Saga tahu bahwa selama ini Hiroto menyukai Shou
teramat dalam.
“aku menyukaimu Shou..”
Shou hanya diam. Saga melihat anak ini bercampur
kesal dan kasihan. Ia merasa bersalah kepada Shou dan juga Hiroto. Kebaikan
Shou tak pantas dibalas pengkhianatan Saga, itulah hal yang mendorong Hiroto
berbuat nekad seperti itu. Namun sejak pengakuan Hiroto, ada keheningan yang
cukup lama. Hiroto tau ia tak akan bisa meraih Shou, dan ia sudah salah dengan
perbuatannya tadi. Ia pun memilih pergi
dari sana, meninggalkan bekas rasa sakit di perut Saga dan meninggalkan Shou
dengan keterkejutannya. Hiroto sudah membuat image nya jelek di depan Shou,
satu hal yang Hiroto sesali..
***
Bukan perkara yang mudah mengembalikan suasana
dingin di antara Shou dan Hiroto. Shou masih belum percaya jika Hiroto
benar-benar menyukainya. Ia lebih baik memilih diam, dan mungkin akan terus
diam jika Hiroto tak berkata padanya lebih lanjut.
Hiroto tak tahan dengan kondisi seperti ini, dua
minggu sudah sejak insiden hari itu, insiden di mana Shou resmi berpisah dengan
Saga dan insiden pengakuan Hiroto yang tiba-tiba di depan mereka. Hiroto sudah
menerima resiko yang akan ia hadapi nanti, yang jelas ia ingin membuat masalah
ini cepat selesai.
“maafkan aku. Aku terlalu egois” momen yang tepat
dipilih Hiroto, saat semuanya sudah meninggalkan kelas dan hanya menyisakan
mereka berdua di sana.
“aku hanya bermaksud untuk membelamu. Aku...aku..”
Shou tetap diam, ia menunggu Hiroto berbicara lagi.
Sampai Hiroto sudah tak sanggup dengan kalimat yang ia rangkai sejak semalam,
Shou akhirnya berbicara.
“sudah sejak kapan kau menyukaiku?” nada yang tidak
pernah Hiroto dengar sebelumnya dari mulut Shou. Dingin sekali. Ia bahkan
merasa nyeri di dada kirinya.
“saat kau menolongku waktu itu”
Hiroto bisa melihat dahi Shou yang berkerut. Ia
sudah mengiranya, Shou pasti sudah lupa.
“saat kita pertama kali bertemu”
Dan sepertinya Shou nampak menyadari akan hal itu.
Sungguh, itu sudah lama sekali batinnya. Ia kembali mengingat kapan mereka
bertemu untuk pertama kali.
Dua tahun yang lalu di
persimpangan jalan menuju sekolah. Hiroto terjatuh dari sepedanya karena
menghindar portal yang baru saja di pasang semalam. Banyak yang melihat
kejadian itu, tapi tak ada satupun yang membantu Hiroto sekadar berdiri. Kecuali
lelaki itu. Lelaki berseragam sama dengan Hiroto yang dengan kebaikan hatinya
mau menolong Hiroto. Ia tidak tau bahwa Hiroto satu sekolah dengannya, karena
di hari itulah Hiroto mulai bersekolah di tempat yang sama dengan si lelaki
tadi.
“kau tidak apa-apa?” suara
kekhawatiran yang tiba-tiba muncul membuat Hiroto berpaling dan melihat siapa
pemilik suara indah ini.
Jari-jari tangan yang
panjang dengan pergelangan tangan yang terbalut handband kain bergaris
hitam-putih itu terulur di depan Hiroto yang masih sedikit shock. Ditambah
sosok seorang lelaki berrambut coklat gelap yang poninya sedikit menutupi
sepasang mata bulatnya, dan tulang dagunya yang cukup runcing. Hiroto tersentak
melihatnya.
“tidak.. aku tidak
apa-apa..”
Lelaki tadi pun tersenyum
lega dan segera membantu Hiroto berdiri. Dalam hati Hiroto sangat senang jika
orang ini satu sekolah dengannya. Masih ada orang baik di sini batinnya.
“kamu kelas berapa? Rasanya
aku tak pernah melihatmu di sekolah?”
Masih
membenarkan posisi sepedanya, Hiroto sedikit canggung atas obrolan perdananya
pada orang di Hokkaido “maaf, aku baru pindah dari Tokyo”
“oh! Bagaimana kalau ke sekolah bareng ? Kau mungkin belum tau areanya”
“terima kasih banyak..”
“aku Shou, kamu ?”
“Hiroto. Ogata Hiroto.”
Salah satu dari mereka
tidak ada yang menyangka kalau Hiroto akan satu kelas dengan Shou. Kenyataan
Hiroto untuk bisa satu sekolah dengan Shou ternyata lebih baik dari itu. Teman
baru Hiroto menyambutnya dengan berbagai macam reaksi. Anak-anak perempuan
saling berbisik membicarakan Hiroto, mereka senang melihat wajahnya yang
seperti masih SMP, sementara Shou menyambut Hiroto dengan hangat. Sengaja atau
tidak, Shou tersenyum manis dan sedikit melambaikan tangan pada Hiroto yang
tengah memperkenalkan diri di kelas.
Seiring berjalannya waktu,
Hiroto agak sulit beradaptasi dengan teman-teman barunya. Karena rambut
pirangnya itu ia sering dibully yang
kebanyakan dari murid laki-laki. Seperti mengolok-olok dengan sebutan ‘the lost gaijin’ (bule nyasar) di
manapun Hiroto berada. Maka dari itu Hiroto lebih nyaman berada di kelas saat
istirahat tiba. Sama halnya yang terjadi di lokernya, beberapa sampah
sepertinya memang sengaja dibuang di sana. dengan sabar Hiroto mencoba untuk
tetap tenang, ia tak mau membuang energinya percuma untuk mengajak duel dengan
orang-orang yang membulllynya.
Hiroto yang semakin
tenggelam dengan dunianya sendiri lambat laun membuat para siswi di kelasnya
kurang memperhatikan Hiroto lagi. Hanya sesekali, selebihnya Hiroto menjadi
introvert. Shou pun sama saja, bukan karena Shou yang tidak ingin lebih dekat
dengan Hiroto. Tapi Hiroto sendirilah yang berusaha menutup diri. Namun dibalik
itu, diam-diam Hiroto mulai memperhatikan Shou. Membuat catatan khusus tentang
Shou dan perlahan ia merasa sudah menyukai Shou lebih dari sekadar teman.
“Shou, boleh pinjam
pulpennya?” pertanyaan Hiroto sukses membuat Shou agak keheranan. Tidak biasanya
Hiroto meminjam barang orang lain di kelasnya. Dengan cepat Shou mengambil
sebuah pulpen yang tersimpan di laci mejanya, memberikannya kepada Hiroto
dengan tersenyum kecil. Di saat yang bersamaan tangan mereka bersentuhan,
seperti adegan romantis di novel teenlit yang berujung manis. Hanya Hiroto yang
merasakannya berbeda, menjadi istimewa saat tangannya bersentuhan langsung
dengan tangan Shou.
Selama ini Hiroto hanya
‘menyukai’ Shou secara sepihak, karena Shou sudah memiliki kekasih bernama
Saga. Tak ada keberanian Hiroto untuk mengungkapkan perasannya.
Hingga saat ini.
“aku senang saat ada yang mau membantuku”
“..dan aku teramat senang saat tau bahwa kaulah
orangnya..”
Ekspresi Shou tidak berubah, matanya menatap lurus
ke arah Hiroto seakan ingin terus menggali lebih dalam lagi apa yang selama ini
Hiroto sembunyikan darinya. “jika seandainya orang yang menolongmu saat itu
bukan aku,?”
“kau berbeda Shou..”
Binar harapan terlihat jelas di mata Hiroto. Shou
melihat sebuah kejujuran di setiap ucapannya. Ia tidak bisa mengelak, lelaki
kecil berrambut pirang di depannya ini sudah berkata jujur sedemikian rupa.
“ya, memang aku yang salah”
Hiroto bersiap hendak pulang, mengambil tasnya yang
masih tergeletak di kursi. Ia berharap tangan itu yang menahannya pergi. Hingga
ia keluar kelas pun tak ada respon berarti dari Shou. Seperti yang sudah ia
ramalkan sebelumnya.
***
Sepi.
Shou menjadi seorang diri di kelas, sejak ditinggal
Hiroto beberapa menit yang lalu. Ia diam bukan sedang tidak memikirkan sesuatu.
Ia sedang mencerna kembali pengakuan Hiroto padanya. Sebegitu berartinya kah
dirinya bagi Hiroto?
Jauh kembali mengingat ada momen dirinya bersama
Hiroto satu per satu. Ketika Shou menyadari jika ia bukanlah satu-satunya yang
terlambat masuk kelas, ada Hiroto di belakangnya yang akan menjalani hukuman
bersamanya. Ia juga sadar bahwa Hiroto terlihat begitu nyaman saat berbicara
dengannya. Sesutu hal yang baru ia rasakan sekarang, perasaan aneh yang
melandanya saat ia bersama Hiroto terjawab sudah.
‘aku terlalu
naif..’
Secepat yang ia bisa, Shou berlari dari dalam kelas
mengejar Hiroto. Ia susuri koridor yang sudah sepi, menuruni anak tangga hingg ia
keluar dan tiba di depan sekolah. Shou menemukannya.
Sosok yang ia cari.
Hiroto merasakan ada sebuah tangan menariknya cepat dan
tangan yang lain mendekapnya di pelukan seseorang. Seseorang yang ia kenal
sebagai Shou tengah memeluknya erat, seakan tak ingin dilepas. Dagu runcing
Shou mendarat di bahu kanan Hiroto, degup jantungnya seakan berirama tak
karuan. Wajahnya mulai memanas, Hiroto masih belum percaya akan hal ini sepenuhnya.
Cukup lama Shou menarik Hiroto dalam dekapannya, ia
merasa nyaman karenanya. Dalam pelukannya Shou berbisik, “aku tidak pernah
menyalahkanmu”. Mata Hiroto membesar mendengarnya. Suara berat Shou mampu
memberhentikan kerja sistem otak Hiroto sementara, ia pun tak membuat
pergerakan atas pelukan ini.
“..karena kau tak berbuat salah..” lanjutnya
Sedikit keheningan menyeruak di antara mereka. Sibuk
dengan pikiran masing-masing.
“sudahkah kubilang aku mencintaimu, Shou ?” tanya
Hiroto tiba-tiba.
Hiroto tau kalau Shou sedang tersenyum, helaan nafasnya terasa di bahunya. “kau
baru saja mengatakannya..”
Hiroto tak mampu lagi untuk tak tersenyum, ia
berhasil mengatakannya. Ia mengira Shou tidak akan membuka hatinya untuk Hiroto.
Namun kenyataannya tidak berkata demikian. Shou yang selama ini ia lihat dari
jauh, kini sedang memeluknya. Sungguh, Hiroto tak ingin momen ini berakhir.
Shou melepas pelukannya perlahan, namun kedua
tangannya masih memegangi pinggang mungil Hiroto. Kedua mata mereka saling
bertemu. Hiroto bisa melihat dirinya di iris mata Shou, begitu sebaliknya.
Dengan saling melempar senyum satu sama lain.
Tiupan angin di awal musim gugur yang mulai
menghangat, tidak serta merta membuat mereka menyudahinya segera. Justru
membuat mereka kembali dalam kehangatan sebuah pelukan.
Bukan suatu kesengajaan, dan bukan suatu yang
dipaksakan.
They only knows.
Owari
2014/11/12