Title : Destiny
Author : Hikari Ogata a.k.a Eri Tonooka
Chapter : 1/2
Pair : ToraXSaga, ToraXSaki
Genre : Angst, Family
Rating : PG
Contact Person Author : Eri Matsumoto Gazerock (fb), @eriq_ogata (twitter)
A:N : niatnya mo bikin smut di tengah jalan, tapi gag jadi ah... takut dosa gw..
Chapter : 1/2
Pair : ToraXSaga, ToraXSaki
Genre : Angst, Family
Rating : PG
Contact Person Author : Eri Matsumoto Gazerock (fb), @eriq_ogata (twitter)
A:N : niatnya mo bikin smut di tengah jalan, tapi gag jadi ah... takut dosa gw..
Destiny
Anak adalah ciptaan Tuhan yang berharga untuk menjadi kebahagiaan bagi para orang tuanya. Anak juga hadir di dunia ini karena adanya cinta. Memang benar begitu, tapi statement yang sudah mendarah daging ini hanya untuk mereka yang kehadirannya diharapkan. Namun tidak untukku.
Kalau boleh aku meminta, aku ingin sekali tak terlahir dari gabungan sperma laki-laki yang sudah menjadikan ibuku makhluk hina di hadapan Tuhan. Aku benci mendengar kata ‘ayah’ karena dia, ibuku menderita sampai sekarang. Hingga aku sudah menginjak umur 17 tahun. Selama itulah ibu sudah berjuang keras memperjuangkan hidupku.
Aku mencintaimu ibu, ku menyayangimu.. sangat..
Tokyo, June 14th 20xx
Setiap pulang sekolah seperti sekarang ini, aku pasti melewati taman kota. Taman ini selalu penuh dengan beberapa keluarga kecil yang bahagia..dan lengkap tentunya. Pernah perasaan iri menyangkut di hatiku, melihat keharmonisan mereka yang seakan tak pernah sirna.
Aku jadi semakin sadar, bahwa aku harus berjuang keras juga untuk membahagiakan ibu. Menuruti semua perintahnya dan merawatnya jika ia sudah tak mampu lagi melakukan apapaun.
Baru sadar aku kalau melamun di tengah jalan seperti ini. Kebiasaan lama..
Hingga seseorang menubruk tubuhku dan terkesan orang ini terburu-buru. Benar saja dugaanku.
“oh, maaf” ujarnya singkat sambil menempelkan kedua telapak tangannya, lalu pergi begitu saja sebelum aku memaklumi insiden tak disengaja itu.
Hingga seseorang menubruk tubuhku dan terkesan orang ini terburu-buru. Benar saja dugaanku.
“oh, maaf” ujarnya singkat sambil menempelkan kedua telapak tangannya, lalu pergi begitu saja sebelum aku memaklumi insiden tak disengaja itu.
Kurapikan kembali seragam yang kurang rapi ini dan mulai berjalan pulang.
Tapi tunggu dulu, benda apa yang kuinjak ini?? Padat dan cukup tebal. Kucoba tengok ke arah bawah, dan menemukan seonggok dompet kulit berada di bawah kakiku.
Pasti punya orang yang tadi. Hendak kukembalikan namun percuma saja, batang hidungya sudah tak terlihat lagi. Tapi mungkin dengan melihat kartu identitas yang ada di dompet ini, aku bisa mengembalikannya.
Perlahan kubuka, mencari sesuatu yang menjadi identitas orang tadi. Sebelum menemukannya, mataku sudah disuguhkan pemandangan yang memikat mata. Beberapa lembar uang ribuan yen masih terlipat rapi di sana. Mengingat pesan ibu yang berkata ‘jangan sekali-kali kau dibutakan oleh uang’, aku jadi tak tergiur. Kantung kedua kucari, bukan kartu identitas yang kutemukan, melainkan foto seorang pria berambut hitam yang sepertiny mirip dengan orang yang menabrakku tadi. Ya, tak salah lagi, dia orangnya.
‘tampan juga’ pikirku.
Jelas saja aku berpikir demikian, karena bentuk wajah orang ini sangatlah tegas. Hidungnya yang mancung seperti orang-orang barat kebanyakan, bibir tipis, dan mata sipit seperti mata elang. Benar-benar pria berfisik sempurna.
Puas mengagumi wjah orang tadi, kembali kucari identitas atau pengenalnya. Dan akhirnya, kutemukan juga. Sebuah kartu nama bernamakan Amano Tora beserta alamat rumah dan nomor ponselnya.
“yosh! Akan kukembalikan nanti malam saja. Lagipula tak terlalu jauh juga rumah orang ini” ucapku bersemangat. Entah dasar apa juga aku bisa semangat, tapi, ah sudahlah..
***
“Kaa-san, aku berangkat dulu” pamitku pada ibu. Saat sudah memegang gagang pintu, ibuku langsung menyahut
“Saga, kalau kau sudah mengembalikannya, langsung pulang ya” ucap ibu,nadanya mengandung kekhawatiran.
“iya, Kaa-san.. aku akan pulang secepatnya. Daag” sebelum pergi kusempatkan untuk mencium kedua pipinya. Aku hanya ingin jadi anka berbakti, itu saja.
..
“jalan Pelangi (Niji) nomor 26. Belok kanan, rumah kedua dari ujung” pelan-pelan kubaca kartu kecl ini dan sesekali memperhatikan rumah-rumah mewah yang berderet rapi itu.
Sampai aku tiba di rumah berwarna biru yang pagar rumahnya bernomorkan 26. Tak salah lagi. Kupencet belnya dan terdengar suara gemerisik yang keluar dari speaker bel itu.
“adik cari siapa, ya?”
Hei, orang ini tau kalau aku masih anak-anak, tapi darimana ia tau?? Hmm,, astaga, ternyata ada kamera kecil di atas belnya.
“saya ke sini ingin mengembalikan dompet tuan” segera kuperlihatkan dompetnya ini dekat-dekat ke arah kamera.
“oh, terimakasih adik. Silakan masuk”
Langsung saja pintu gerbangnya terbuka, dan kumasuki. Benar-benar rumah mewah, halaman depannya terdapat air mancur kecil dengan patung dewa Yunani kecil membawa gentong air. Seperti rumah-rumah orang Eropa saja, padahal ini kan di Jepang.
“hei, kemarilah...” suara itu lagi memanggilku. Oh, sial aku jadi terbawa suasana mewah rumah orang ini.
“silakan masuk. Kau pasti capek, duduk dulu” tawarnya ramah, sambil menyunggingkan senyum tipisnya
“ah, tidak terimakasih. Aku hanya mengembalikan ini dan langsung pulang. Tak perlu repot-repot, tuan” tolakku hati-hati lalu menyerahkan dompet miliknya. Karena dari tampangnya saja, sudah kelihatan kalau ia gampang sekali marah.
“terimakasih, ya. Kau anak yang baik. Hmm,, ini untukmu, sekedar beli permen” kulihat ia mengambil isi dompetnya dan menyerahkannya padaku dua lembar seribu yen.
‘Ya Tuhan, banyak sekali uangnya’
“tapi tidak tuan. Terimakasih banyak. Ibuku berpesan, kalau menolong orang itu jangan mengharap imbalan” ucapku bangga
“wah,, pasti ibumu orang yang baik, ya”
“tentu saja, tuan” sambungku cepat
“tapi kalau menolak pemberian itu tidak boleh, lho” ujarnya masih menyodorkanku uang dua ribu yen tadi
“tapi”
“terimalah, aku memaksa”
Ragu-ragu untuk mengambilnya. Apakah ini keputusan yang tepat. Tapi tak ada salahnya juga, siapa tau uang ini berguna buatku ataupun ibu.
“umm, terimakasih banyak, tuan. Semoga tuan diberkati”
Terdengar suara kekehan kecil darinya, dan aku tau itu pasti gara-gara aku. “adik, kau mau pulang sekarang?”
“i.iya tuan”
“malam-malam begini apa kau jalan kaki dari rumahmu?”
“iya tuan, tapi tak apa kok. Saya sudah biasa”
“memangnya rumahmu di mana?”
“tiga blok dari sini”
“iya tuan, tapi tak apa kok. Saya sudah biasa”
“memangnya rumahmu di mana?”
“tiga blok dari sini”
“hha?? Itu kan jauh. Kau mau kuantar?” tawarnya kemudian
“tt..tidak perlu, tuan. Saya bisa sendiri” ucapku seyakin mungkin, padahal aku juga ragu apakah aku bisa pulang atau tidak malam ini
“ya sudah. Hati-hati, ya. Kapan-kapan mampir ke sini lagi, ya”
“iya tuan. Terimakasih banyak”
Dan pesannya untukku berhati-hati mulai terdengr samar-samar, seiring kumelangkahkan kakiku pergi dari situ.
***
14.30 Japan time
TENG TENG TENG
Gema suara bel terdengar begitu nyaring di telinga Saga. Memerintahkan kerja otak Saga untuk langsung menyimpuni semua buku-buku dan alat tulisnya yang berserakan ke dalam tas. Begitu sang sensei memberi salam dan keluar dari kelas, Saga dan beberapa murid lainnya juga hendak pulang.
Namun ia melihat temannnya yang tidak ikut pulang dengannya seperti biasa.
“Shou, kenapa tidak pulang?” tanya Saga, menghampiri Shou yang masih duduk di kursinya.
“mmm,, aku, piket Saga.. iya, piket..hhehehe” nampak jelas kalau Shou mengatakannya sangatlah canggung. Dan Saga juga bisa merasakannya.
“apa kau yakin piket hari ini? Bukannya kau bertugas kemarin?” pernyataan Saga membuat Shou kikuk seketika. Alasan apalagi yang ia buat agar Saga percaya.
“aku juga sedang mencari buku tugasku yang hilang” bohongnya lagi
“aku bantu cari, ya”
“tidak usah! Lebih baik kau pulang duluan saja. Aku bisa mencarinya sendiri kok”
Tak ingin berlama-lama lagi menghadapi kebohongan Shou, Saga menurut saja. Ia pulang meninggalkan Shou sendiri di kelas. Sebenarnya apa yang ia sembunyikan dari Saga sampai ia terus berbohong seperti itu? Entahlah..
(/^o^)/
Saga berjalan keluar menuju gerbang sekolah, dan karena ia tak punya kendaraan apapun untuk pulang, jalan kakilah yang harus ia lakukan. Tak ada yang aneh selama ia menuju keluar gerbang sekolah, sampai suara deru sepeda motor dari jarak jauh perlahan terdengar nyaring dan seperti sedang berada di sampingnya. Benar saja, Saga menoleh ke samping dan menemukan sepeda motor mahal dengan seseorang pengendara yang tak asing lagi baginya.
“Mau kuantar pulang?” tawar orang itu, membuka pembicaraan
“tt..tidak perlu tuan. Saya bisa pulang sendiri”
“ayolah, pasti kau lapar kan? Makan yuk, aku traktir deh”
“tapi..”
“ayo naik, kenakan helmnya” tanpa ucapan ‘ya’ dari Saga, langsung saja tuan kaya itu menyodorkan helm untuk Saga. Benar-benar orang pemaksa, tapi baik...
Mereka berdua tiba di sebuah restoran yang menurut Saga tempat itu sangat mewah dan mahal. Gerak-gerik Saga yang canggung terbaca jelas di mata sang tuan kaya itu.
“hei, santai saja. Jangan sungkan. Oh, ya namamu siapa? Aku Tora. Salam kenal”
Masih dengan gerak tubuh canggung, Saga menjawab “namaku Saga, tuan. Salam kenal juga”
“jangan panggil tuan, ya. Memangnya aku terlihat tua? Cukup Tora saja”
Saga mengangguk, dalam pikirannnya sosok yang sedang berada di depannya ini tidak terlihat tua. Wajahnya seperti seumuran dengannya, sangat tampan.
“Saga, kau melamun?”
“ah, eh.. maafkan aku”
“kau mau pesan apa? Semua terserah Saga”
“terserah Tora saja. Aku ikut”
Tora terkekeh, anak ini benar-benar polos pikirnya “baiklah, tapi jangan canggung begitu ya. Aku tak akan macam-macam denganmu kok”
“iya”
Tora Amano, manager sebuah perusahaan elektronik terkenal di Jepang telah bertemu dengan Saga, seorang pelajar SMA yang sederhana dan tak berambisi menjadi orang kaya. Perhatian Tora pada anak itu sangat besar, ia ingin melindungi anak polos ini. Melindungi yang berlebihan hingga rasa dihatinya ingin sekali untuk memiliki Saga. Tora ingin memiliki anak ini seutuhnya, karena wajah Saga sudah mengingatka ia pada seseorang di masa lalunya. Wanita yang ia sia-siakan karena ulahnya sendiri.
‘Saki, seandainya kau di sini. Kecantikanmu mirip sekali dengan anak ini. Saga, kau seperti Saki-ku yang hidup kembali’
Wanita yang menjadi cinta pertamanya itu, Tora ketahui sudah meninggal bunuh diri karena tak ingin melahirkan anak hasil hubungan gelap mereka. Pernyataan dari ayah Saki itulah yang sampai sekarang menjadi penyesalan terberat di hidup Tora. Ia belum sempat meminta maaf pada Saki hingga kematiannya datang.
“Saga, setelah ini ke rumahku dulu, ya. Baru kuantar pulang”
Sejenak Saga memikirkan ucapan itu. Namun ia percaya Tora orang yang baik dan sebuah anggukan ia berikan untuk menyetujuinya.
Selangkah lagi, Tora akan mendapatkan Saki kecilnya.
Tsuzuku
No comments:
Post a Comment