Title: I’m In Love With
You
Author: Eri Tonooka
Chapter: OneShot
Pairings: ShouXHiroto (lovers), SagaXHiroto (blur), ToraXSaga (lovers)
Genre: Angst, Romance, Slice of Life,
SHOUnnen-Ai of course
A/N: ini fic awal yang niatnya cuman nuang ide dan ngestuck di tengah jalan. Karena
mamih Haru minta fic apapun sebagai imbalan atas videonya Mpon, maka
jadilah ini.. maap mih kalo ini cerita rada maksa.
I’m In Love With You
Avril
Lavigne – Fall to Pieces
Aku baru saja dipersilakan masuk oleh Saga untuk
mengunjungi kediamannya. Rumah bergaya Jepang semi-modern dengan ruang tamu
yang tidak terlalu besar. Jauh dari kata berantakan-atau mungkin hanya ruang
tamunya saja yang sengaja diperlihatkan rapi-. Entahlah. Walaupun sudah berusia
dua puluh tiga tahun, tapi ia masih tinggal di rumah masa kecilnya bersama Ibu
dan kedua kakak perempuan. Hanya Saga manusia laki-laki di rumah ini.
Kami hanya mengobrol tentang studi di Universitas,
dan alasan aku bisa ada di rumah Saga adalah karena sifat manja Saga yang tak
hilang itu. Ia ingin ditemani bermain game sementara Ibunya pergi ke makam sang
Ayah di Kanagawa sana. Seperti anak kecil, bukan?
Sudah ke tiga kalinya Saga kalah bermain game
denganku. Jelas saja, Saga tidak ahli sepertiku yang selalu menang bermain game
ini. Dia salah memilih lawan bermain, tentu saja. Karena terlalu asyik, Saga
menghentikan permainannya dan tidak melanjutkannya lagi.
“hey, mau ke mana? Permainan belum selesai” ucapku
protes. Saga memutar kedua bola matanya dan berdecak kesal. “kau terlalu
menghayati game sampai kau tak mendengar suara bel rumahku berbunyi.”
Aku tersenyum bodoh padanya, yah begitulah aku
terlalu sibuk pada game. “baiklah, kau duduk di sini saja. Biarkan aku yang
membukakan pintu untukmu”. Saga hanya memanyunkan bibirnya dan menuruti perkataanku.
Begitu kubuka pintu, nampak seseorang yang lebih
pendek dariku sedang membawa sebuah mangkuk besar yang aku tak tau itu apa
isinya. Dia tersenyum ramah dan sesekali kulihat dia mencuri-curi pandang ke
arah dalam rumah.
“Saga-san ada di dalam?” tanyanya. Anak laki-laki
yang suaranya lebih berat dari yang kukira.
“ya, dia di sana. Masuklah.”
Aku mempersilakannya masuk. Ku panggil Saga yang
masih sedikit tidak terima atas kekalahannya tadi.
“Pon!” Saga terlihat senang saat anak itu bertamu ke
rumahnya. Ia menghampiri anak itu dan mengajaknya duduk di ruang tamu.
“nee, Saga-san. Aku bawakan ini untukmu. Karena aku
tau Bibi Ai sedang pergi jadi aku buatkan ini..” ucapnya malu-malu. Terlihat
dari wajahnya yang kemerahan.
“wow, sup
miso! Terima kasih Pon” Saga mengacak pelan rambut anak bernama Pon itu dan
membawa mangkuk berisi sup miso itu ke dapur. Hanya aku dan Pon tersisa di
ruang tamu.
Entah mengapa aku rasa anak ini menyukai Saga. Aku
sudah cukup sering melihat hal-hal seperti ini, jadi aku tak pernah salah
menilai orang yang sedang jatuh cinta. Seperti halnya Pon, bahkan tadi dia
mengatakan bahwa ia tahu kalau Ibu Saga sedang pergi. Yah, mungkin saja ia
memang diberitahu sebelumnya. Tapi, laki-laki mana yang mau membuatkan sup miso
dengan sikap malu-malu kepada laki-laki lain? Hanya orang yang jatuh cinta yang
bisa melakukannya.
Lama dengan pikiranku sendiri, Saga sudah muncul
kembali dari dapur.
“hey, Pon. Kenalkan, ini temanku di Universitas.
Namanya Shou. Dan Shou, ini Pon adik tetangga sebelah” terlihat Pon sedikit
berubah ekspresi saat Saga mengucapkan kata ‘adik tetangga’. Apa Cuma
perasaanku? Ah tidak tidak. Ini begitu jelas. Pon tidak sebahagia saat pertama
kali masuk.
“Saga-san, aku harus kembali pulang.” Dan senyumnya
pun tidak seramah tadi. Senyum keterpaksaan yang ia tunjukkan.
Dirasa Pon sudah
benar-benar pulang, aku baru berani bertanya hal ini kepada Saga. “dia benar
hanya adik tetangga mu?” Saga sedikit kaget mendengarnya.
“kenapa kau tanyakan hal itu?”
“apa dia sering memberimu makanan seperti tadi?”
“yah.. kadang-kadang. Kalau Ibu sedang pergi lama, dia baru memberiku makan
gratis”
“kamu itu tidak peka”
Saga mengangkat sebelah alisnya “aku? Tidak peka? Kenapa??”
“ah sudahlah. Kau tak akan mengerti”
“oi oi! Seenaknya saja mengataiku!”
“itu memang benar, kan? Sudahlah, aku mau makan sup miso anak itu tadi”
“dasar kau!”
Apa memang seharusnya aku tidak memberitahu Saga
soal Pon yang menyukainya, ya? Padahal aku baru kenal dengan Pon, tapi rasanya
aku ingin melindungi anak itu. Apa jadinya kalau Pon tau kalau Saga tak
menyukainya? Anak itu sudah banyak berkorban untuk Saga, dan sepertinya Saga
tak memberikan umpan balik untuk Pon. Yang aku tau, Saga sudah lama mencintai
seseorang teman kami. Tora namanya.
***
Hari ini aku pulang kuliah tidak bersama Saga. Hanya
ada satu alasan Saga tidak pulang bersamaku. Tora sudah membuat janji dengan
Saga sehabis pulang ini. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Dan kau tau
bagaimana bahagianya Saga mendapat ajakan itu? Pipiku sampai sakit dibuatnya
karena terlalu senang.
Di persimpangan jalan, mataku menangkap sesosok anak
laki-laki yang familiar. Rambut hitam bergaya ala remaja Tokyo berseragam SMA
sedang menuntun sepedanya. Kuhampiri anak itu dan ternyata memang benar. Dia
Pon.
“hey, kenapa tidak
dinaiki saja sepedanya?” tanyaku.
“bannya bocor” jawabnya singkat.
“kita ke bengkel saja. Di ujung sana ada bengkel. Aku bisa mengantarmu.”
“aku memang akan ke sana”
Ucapannya kenapa acuh begitu? Aku kan sudah berbaik
hati mau mengantarnya? Sabar Shou.
Sampai di bengkel, ia sama sekali tak bicara padaku.
Saat kutanya pun ia hanya mengangguk sekenanya. Menyebalkan, tapi karena dia
manis kumaafkan saja.
“aku akan mengantarmu pulang, kebetulan aku juga
ingin mampir ke rumah Saga—”
“tidak perlu!”
Aku kaget. Ucapannya tiba-tiba menjadi ketus dan
setengah berteriak. Apa ada yang salah dengan perkataanku?. Sampai kulihat ia
menunduk dan meremas-remas ujung seragamnya. Tak lama bahunya sedikit bergetar.
Seperti menangis.
“kamu ada hubungan apa dengan Saga-san?” ucapnya
dengan suara serak. Dia menahan tangis.
“aku? Kami hanya teman. Kau jangan salah mengira
kalau aku menyukai Saga. Aku justru tahu kalau kaulah yang menyukai Saga”
Tangisannya berhenti seketika. Perkataanku tepat
mengenai sasaran. Satu hal yang aku tahu dari anak ini memang benar. Dia
mengangkat wajahnya yang sudah basah dan matanya yang merah, “jangan beritahu
Saga-san.. kumohon..”
“kenapa aku harus?” ucapku sedikit tedengar malas,
tapi aku hanya menggoda anak ini saja.
“kau harus menjaga rahasia ini. Kalau tidak—”
“hmm?”
Pon kembali menundukkan wajahnya takut “..Saga-san
akan membenciku..”
Anak ini begitu takut Saga nantinya akan membencinya
hanya karena ini. Saga tak akan membenci seseorang sekalipun orang itu
menyakitinya. Sungguh bodoh jika Saga sampai membenci anak baik seperti Pon.
“ah.. baiklah. Jangan menangis lagi, okey”
Sebuah senyuman tampak samar dari wajahnya yang
tertunduk. Di saat Pon seperti itu tiba-tiba saja aku juga turut bahagia.
Karena senyumnya dan kepolosan anak ini. Walaupun senyum itu bukan untukku.
***
“seberapa dekat kalian
di Universitas?” tanya Pon tiba-tiba, memecah keheningan perjalanan pulang
kami. Dengan berjalan kaki tentu saja, karena sepeda Pon sudah dititipkan ke
bengkel. Dan sesuai janjiku, aku mengantarnya sampai rumah.
“kami bersahabat. Kau tau definisi nya, kan?”
“apa hanya kalian berdua saja?”
Melihatku bingung dengan maksud perkataannya, ia
buru-buru mengulangi “..maksudku, apa hanya kalian berdua yang sangat dekat?
Tidak ada teman lain lagi?”
Aku menggelengkan kepala pelan “ada satu teman kami,
namanya Tora”
“oh, apa dia orang yang
baik?”
“ya tentu saja.”
“baguslah...”
“sejak kapan kau menyukai Saga?”
Pandangannya tidak menentu. Ia tersenyum penuh arti
di balik poni yang ia biarkan memanjang. Oh, apa inikah salah satu tanda orang
yang sedang jatuh cinta?. Jujur, ada rasa yang aneh mengganjal di hatiku saat
ia tersenyum seperti itu. Seperti rasa tidak suka.
“sejak keluargaku pindah ke sana tiga tahun lalu”
Yah, aku baru tahu itu. Ia mulai menceritakan
semuanya dari awal. Saat pertama kali mereka bertemu yang kurasa kejadiannya
cukup romantis. Pon bertemu Saga secara tidak sengaja, Pon yang waktu itu masih
kelas dua SMP sebenarnya tidak ingin pindah rumah karena alasan ia tak mau
pindah sekolah juga. Dengan keterpaksaan, Pon menuruti orang tuanya dan segera
pindah rumah tepat di samping rumah Saga. Ia bercerita bahwa saat itu ia sedang
marah karena ia benar-benar harus pindah sekolah, ia kemudian menangis di depan
rumah barunya. Tak lama kemudian Saga datang dengan membawa sebatang cokelat
dan diberikan kepada Pon. Ia juga bercerita kalau Saga datang dengan senyum
termanis yang pernah ia lihat. Menurutnya, Saga adalah laki-laki baik yang
datang di saat yang tepat untuk menghibur Pon.
Saga memang baik, aku akui itu.
“apa kau tak pernah mencoba menyatakan perasaanmu
padanya?” tanyaku dengan sedikit jeda saat ia berhenti bercerita.
Pon menghela napas berat “aku tak bisa..aku tak
berani..”
“suatu saat kau pasti akan mengatakannya. Jika
tidak–” ucapanku menggantung. Sulit mengatakan kalau Saga menyukai Tora. Apa
jadinya Pon kalau tahu itu.
“jika tidak apa?”
“ah lupakan saja”
“Shou-san tidak sedang menyembunyikan sesuatu, kan?”
Ini pertama kalinya dia memanggilku dengan nama itu. Apa yang dia tanyakan tak
bisa kujawab sekarang.
“tidak ada.” Tak terasa kami sudah di depan rumah
Pon dan saatnya bagiku untuk berpisah dengannya.
“Shou-san, terimakasih untuk hari ini. Sampai ketemu
lagi” Pon melangkahkan kakinya ke area rumahnya sambil melambaikan tangan
kanannya. Nampak jelas perbedaan sikapnya dari empat puluh menit yang lalu.
Ah, ya! Saga! Ada yang ingin kubicarakan dengannya,
tapi sepertinya Saga belum pulang. Beginilah jadinya saat ia bersama Tora. Lupa
waktu. Mungkin sekarang ini mereka sedang di perpustakaan mencari buku untuk
persiapan ujian musim ini. Dan bisa kuduga Saga menikmati momen itu dengan
hanya melihat wajah serius Tora saat mencari dan membaca buku. Tidak lebih.
Sudah kuputuskan aku akan menunggu Saga di kamarnya,
tentu saja aku bisa masuk karena izin dari kakak perempuannya yang cantik itu.
Keluarga Sakamoto ini entah mengapa mempunyai wajah yang cantik, termasuk Saga.
Oh yea, aku menyebut Saga cantik. Jangan salah paham karena hal ini, karena aku
masih bisa melihat paras cantik Ibu dan kedua kakak perempuannya menurun kepada
Saga. Pendapatku ini mungkin berbeda jika Pon yang meresponnya. Pon selalu
bilang Saga itu tampan, ya memang.. tapi tidak lebih tampan dariku.
Berbicara soal Pon, menurutku ia berbeda dengan anak
berseragam SMA lainnya yang pernah kutemui. Sikapnya, perhatiannya, dan tentu
saja wajah manisnya membuatku susah melupakannya. Ekspresinya saat tersenyum di
hari itu sangat polos, tak ada kesan pemarah dalam dirinya. Aku jadi terkesan
membanggakan dirinya, padahal aku juga baru kenal. Wajar? Entahlah! Kurasa aku
menyukainya..err..perasaan suka bisa kapan saja muncul, kan? Mengingatnya
membuatku tersenyum sendiri seperti orang gila.
***
“Shou-san!!!” teriak Hiroto dari jauh. Saat ini ia
sedang berada di taman bermain dekat rumahnya karena menunggu Shou. Sebelumnya
Shou sudah menyanggupi permintaan untuk menemani Hiroto berbelanja.
“yo!” Shou menghampiri Hiroto. “kau dari tadi
menungguku?”. Hiroto menggeleng. “ayo Shou-san, aku sudah tak sabar!”
Hiroto langsung menggandeng tangan Shou dan bergegas
menuju pust perbelanjaan. Sampailah mereka di gift shop. Shou tak menyangka
kalau ia akan dibawa ke tempat ini.
“Shou-san, aku ingin minta pendapatmu. Kira-kira
Saga-san suka hadiah apa?”
Perasaan Shou berubah kecewa. Jadi ini tujuan Hiroto
mengajaknya berbelanja. Hanya untuk meminta pendapat hadiah apa yang bagus
untuk Saga. Shou hanya bisa memaksakan senyumnya. Sakit hati, jelas.
“Shou-san? Bagaimana menurutmu?” tanya Hiroto lagi.
“ah, aku rasa dia suka replika jam pasir ini” jawab
Shou sekenanya. Ia juga tak mau membuat Hiroto lebih banyak tahu tentang
kesukaan Saga. Walaupun Shou tahu Saga tak akan bisa menerima Hiroto, tapi ia
tak bermaksud jahat untuk menjauhkan hubungan keduanya.
“okey, aku ambil ini. Kalau Shou-san suka apa?”
“aku?” Shou bingung menentukan barang apa yang
bagus. Tak terlintas dipikirannya akan ditanya seperti itu. Matanya pun menangkap
sebuah benda yang berkilauan tak jauh dari replika jam pasir tadi.
“aku suka ini” sebuah diorama kaca yang sederhana
dipilih Shou.
Tanpa pertanyaan lagi, Hiroto segera mengambilnya, menuju
kasir dan membayarnya.
“Shou-san, ini untukmu. Ini sebagai tanda pertemanan
kita.” Hiroto menyerahkan diorama kaca yang tadi dipilih Shou.
“terima kasih Pon.” Padahal Shou hanya asal memilih,
tapi ia merasa pilihan asalnya itu
menjadi berharga saat Hiroto yang memberikan.
Jam pasir yang sudah terbungkus kado itu Hiroto akan
berikan kepada Saga. Di hari ulang tahunnya besok. Ia berharap dengan
pemberiannya ini, Saga cepat mengerti perasaan Hiroto padanya.
Sesuai permintaan Hiroto, ia hanya minta Shou
menemaninya berbelanja saja hari ini. setelah itu mereka kembali pulang. Tapi pada saat mereka berjalan melewati game
center, Hiroto tak sengaja melihat Saga di sana. Tidak sendiri. Saga bersama
seorang lelaki tinggi yang sedang merangkul pundak Saga.
Hiroto pun memilih berhenti dan melihat lebih jelas.
Shou yang berjalan di depan Hiroto menjadi berbalik dan ingin tahu apa yang sedang
dilihat Hiroto. Shou begitu kaget saat Hiroto melihat Saga dan Tora tengah
berpelukan di sana. Bingung Shou akan menjelaskan seperti apa pada Hiroto.
“Hiroto..” panggil Shou pelan.
“itu Saga-san, kan?” tanya Hiroto tak percaya. Ia
bersikeras dalam hati kalau itu bukanlah Saga.
Shou tak bisa menjawab. Ia kasihan melihat Hiroto
shock seperti itu. Tak lama Shou mendengar suara isakan kecil dari Hiroto.
Refleks Shou menoleh dan mendapati wajah Hiroto sudah memerah dan ada air yang
mengucur dari kedua matanya.
“Hiroto..maafkan aku..” nampak penyesalan di wajah
Shou. Ia tak pernah menceritakan peranan Tora di hidup Saga.
“Shou-san tau siapa orang itu?” tanya Hiroto masih
terisak. Shou mengangguk, tak kuat melihat wajah Hiroto yang menangis.
“dia Tora, teman kami di Universitas”
“Shou-san bahkan tak memberitahuku..”. Kecewa, marah,
itulah perasaan Hiroto saat orang yang baru saja menjadi teman baiknya itu
sudah mulai membuat kesan tidak baik padanya. Walaupun itu sebenarnya bukanlah
kemauan Shou untuk merahasiakan hubungan Tora dan Saga dari Hiroto.
“Hiroto.. maaf..”
“Lebih baik aku pulang..”
Shou tak bisa mencegah Hiroto pulang, karena itu
sama saja membuat mood Hiroto menjadi lebih buruk. Ia ingin sekali tadi memeluk
Hiroto di saat anak itu menangisi Saga. Ia ingin menenangkan anak itu, dan tak
ingin melihat Hiroto menangis seperti itu. Karena sadar atau tidak, Shou
merasakan sesak di dadanya saat Hiroto menangis untuk Saga.
***
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Saga-san sudah
bersama orang lain. Selama ini usahaku sia-sia menarik perhatiannya. Tidak ada
lagi alasanku mengunjungi rumahnya dengan membawakan makanan untuknya. Selamanya
Saga-san tak akan pernah mencintaiku..
Kembali aku terisak dalam kebodohanku sendiri.
“..Pon...”
“Hiropon..”
Samar aku mendengar seseorang memanggilku.
“Hiropon.. kenapa tidur jam segini?? Bangun sayang,
ada yang mencarimu” akh, Ibu ternyata. Jangan sampai mataku yang sudah sembab
ini terlihat olehnya. Butuh waktu sejam untuk menjelaskannya sampai tuntas.
“siapa?” tanyaku tanpa membuka selimut yang menutupi
seluruh tubuhku.
“Ibu belum tanya, tapi dia bilang dia temannya
Saga-kun”
‘ah, pasti Shou.
Aku malas bertemu dengannya’
“kalau temannya Saga-kun, kenapa mencariku? Aku mau
tidur lagi, Bu” jawabku penuh keengganan. Mood ku benar-benar kacau hari ini. Juga
karena Shou yang tak memberitahuku soal Saga-san dan pacarnya itu.
“dia juga bilang kalau ia ingin bertemu denganmu. Sudah
sana temui dia.”
“ish, menyebalkan! Bilang padanya tunggu sebentar”
Ibu pun pergi dengan suara hembusan nafasnya yang
bisa kudengar seperti tidak suka dengan sikapku. Siapa peduli?
Kuintip sedikit ke arah ruang tamu dari balik pintu
yang jaraknya memang tak jauh dari sana. Sudah kuduga, itu Shou. Bisa dibilang
ini pertama kalinya ia berkunjung ke rumahku. Ah, aku harus bersikap biasa
saja.
Aku pun keluar dari kamar dan perhatian Shou langsung
menuju ke arahku. Sampai aku duduk pun ia terus mengikuti gerakku. Entah mengapa
merasa diperhatikan seperti itu adrenalin ku semakin terpacu. Ada apa ini?
“Hiroto, kamu masih memikirkan Saga?”
“jangan bicarakan itu
lagi Shou-san..”
“ah gomen”
Ada kecanggungan saat kami berbicara. Hanya karena
masalah ini kami seperti orang yang tidak kenal sama sekali. “..kalau Shou-san
ke sini hanya untuk menanyai keadaanku aku baik-baik saja. Aku hanya butuh
waktu saja.”
“tapi aku tidak percaya Hiroto” sergah Shou cepat. Aku
tidak tahu harus berekspresi apa. Senang kah ada orang lain yang memerhatikan
keadaanku? Atau sebaliknya?
Mendadak kepalaku terasa berat memikirkannya. Akh,
migrain ku.. jangan sekarang...
“Hiroto? Daijobu desu ka?” bisa kurasakan Shou
memegang tubuhku, aku sudah tak tahan lagi..dan aku pun bersandar di dadanya
menahan sakit.
“bawa aku ke kamar itu” pintaku sambil menunjuk
kamar di sebelah sana.
Shou segera membawanya masuk ke kamar Hiroto dan
membaringkannya di tempat tidur. Shou sedikit takjub melihat suasana kamar
Hiroto yang mayoritas bernuansa merah. Tidak seperti kebanyakan laki-laki yang
lebih memilih warna gelap. Beruntung di hari pertama berkunjung ke rumah
Hiroto, ia sudah bisa memasuki kamar Hiroto yang notabene adalah privasi pemuda
itu.
Mata Hiroto masih terpejam dengan satu tangannya
yang memijit-mijit kepalanya.
“aku belikan obat ya” ucap Shou sudah bersiap
meninggalkan kamar Hiroto.
“tidak perlu. Ini hanya migrain, Shou-san tolong
tutup tirai jendelanya. Cahayanya membuatku sakit.”
“ah ya..” Shou mengerti apa yang membuat Hiroto
kesakitan seperti itu. Maka ia menutup semua akses cahaya yang masuk ke dalam
kamar. Otomatis membuat kamar yang semula terang menjadi gelap. Menyisakan mereka
berdua di dalam kamar dengan pintu yang terkunci.
Shou menghampiri Hiroto dan sebisa mungkin membuat
Hiroto merasa lebih baik dengan membiarkan ia saja yang memijit kepala anak
itu.
“Shou-san..” Hiroto menatap Shou dengan mata yang setengah tertutup. “semoga ini
membuatmu lebih baik”
“Shou-san kenapa begitu peduli padaku?”
Shou bingung akan menjawab seperti apa. Haruskah ia
jujur sekarang dan mengatakan bahwa ia mencintai Hiroto? “jika aku
mengatakannya, aku harap kau mengerti..”
“..aku mencintaimu Hiroto.”
Dan sukses membuat kamar gelap itu menjadi sunyi
tanpa suara. Kedua tangan Shou yang semula memegang kepala Hiroto, secara
perlahan Hiroto melepaskannya dan meletakkannya di samping tubuhnya yang masih
terbaring.
“Hiroto, beri aku kesempatan untuk menggantikan
posisi Saga di hatimu.” Shou menggeser tubuhnya lebih dekat dengan Hiroto. Mendekatkan
wajahnya perlahan dengan satu tujuan. Meraih bibir Hiroto sebagai bukti bahwa
Shou benar-benar mencintainya.
Hiroto bahkan tak melawan ciuman sepihak itu. Ia juga
tak merespon bibir Shou yang terasa dingin saat menyentuh bibirnya. Shou tidak
melakukan deep kiss yang liar, karena itu bisa membuatnya dicap seperti lelaki
penuh nafsu yang hanya mencintai orang lain hanya karena nafsu. Bukan itu yang
ia lakukan sekarang.
Shou bisa melihat mata Hiroto yang terpejam saat ia
menciumnya. Terkesan menikmati namun tanpa adanya perlawanan dan respon yang
berarti. Yang Shou pikirkan sekarang adalah, Hiroto sudah memberikan lampu
hijau padanya.
“aku mencintaimu” ucap Shou setelah menyelesaikan
ciumannya.
“bukan karena kau kasihan padaku?”
“aku tulus mencintaimu Hiroto, sejak pertama kali
kita bertemu. Dan kau pasti tak tahu saat kau membicarakan Saga di depanku,
hatiku sakit.” Mata Shou menjadi sayu kembali mengingat kemarin betapa bahagianya
Hiroto mencintai Saga.
Suasana kembali hening. Hiroto terlalu terkejut
mendengar pengakuan Shou yang tiba-tiba ini. tak pernah terpikir olehnya, ternyata
Shou lah yang mencintainya.
Hiroto pun membuka suara, “kumohon jangan kecewakan
aku nantinya..”
“eh?” Shou kaget mendengar ucapan Hiroto barusan. Ia
terlalu sibuk dengan pikirannya, sehingga ia kurang memahami apa maksud Hiroto.
“jangan kecewakan aku Shou..” sebuah panggilan tanpa
embel-embel –san? Ini artinya?
Melihat Shou yang masih kebingungan, Hiroto segera
menatakan apa maksud ucapannya tadi.
“aku juga mencintaimu...”
Senyum brunette itu pun terkembang manis. Ia tak
bisa menutupi rasa bahagianya, segera ia memeluk Hiroto erat dan menciumi
seluruh bagian wajah pemuda kecil itu. Mereka pun tersenyum saat menatap wajah
satu sama lain. Terlihat samar rona merah menghiasi wajah mereka.
“percaya padaku, aku tak akan membuatmu kecewa”
“pinky promise?” Hiroto mengacungkan jari
kelingkingnya di depan Shou. “pinky promise” Shou pun langsung mengaitkan
kelingkingnya dan jari keduanya saling bertaut.
Manis.
Bibir mereka kembali bertemu tanpa adanya paksaan
dari salah satu pihak. Dan kebahagiaan itu pun menyelimuti mereka, seiring
ciuman yang semakin panas dan mengikuti irama desah nafas mereka. Permainan akhirnya
berakhir dengan peluh yang membasahi tubuh masing-masing, saling memberikan
tanda merah di tubuh bahwa mereka sudah terikat satu sama lain.
Hanya cinta yang bisa membuat Hiroto mau melakukannya,
dan cinta lah yang sudah mempertemukannya dengan sang pemberi kebahagiaan
untuknya.-Shou-.
Owari
***
n.b: ENDINGNYA
MAKSAAAAAAA!!!!!! (gak pede waktu mau ngepost)