Title : Gomen ne
Author : Hikari Ogata a.k.a Eri Tonooka
Pair : ShouXHiroto
Genre : Fluff, lil Angst
A/N : Muncul tiba2 ketika menjelang tidur (ini penpic asli bikinan saya!!!). Untuk
judulnya memang astul (asal tulis), en saya juga belakangan ini demen banget
bikin judul pendek2.
Gomen ne
Sepulang sekolah, rutinitas
Shou yakni mengantarkan Hiroto pulang. Tak hanya sepulang sekolah, berangkat
sekolah pun Shou selalu menjemputnya. Bahkan ketika sedang pergi liburan,
selalu Shou yang mengantarkannya. Ia bahkan lebih dari seorang supir pribadi.
Pukul 15.30, mereka sudah keluar gedung sekolah dan bersiap pulang. Untuk hari
ini, Shou tidak segera mengantarkan Hiroto pulang ke rumahnya, melainkan ia ke
kedai ramen dulu untuk makan. Berhubung tadi Shou tau kalau di sekolah Hiroto
tak sempat makan siang. Jadi ia bela-belain ke kedai hanya untuk menemani
Hiroto makan.
Sampai di sana, mereka duduk bersebelahan. Sambil menunggu pesanan, mereka
meminum segelas teh hijau dengan diiringi obrolan-obrolan ringan. Sesekali
mereka tertawa, dan itulah yang membuat pasangan ini tetap awet bahkan sudah
lebih dari lima tahun.
Pesananpun tiba, sebuah ramen ukuran jumbo telah terhidang dengan kepulan asap
yang masih menguap. Hiroto sengaja memesan satu karena ia akan makan berdua
dengan Shou. Jangan tanya kenapa, karena pasti Hiroto tak akan sanggup makan
ramen dengan porsi sebesar itu.
“mau kusuapi?” ucap Shou sambil membunyikan sumpitnya satu sama lain
Hiroto menoleh dan menggeleng “tidak usah, aku bisa makan sendiri”
Mendengar itu, Shou membukakan
plastik sumpit di depannya dan memberikannya pada Hiroto. Saat ini ia sudah
memasukkan dua suap di mulutnya, namun ia melihat Hiroto sejak tadi tak memakan
ramennya.
“kenapa?”
“panas,” ucap Hiroto masih terus berusaha meniup-niup mie yang tergantung di
sumpitnya itu. “aku tiupin sini,” segera Shou mengambil sumpit Hiroto dan
meniup mie yang ada di situ. Dirasa sudah agak dingin, Shou menyodorkannya di
depan Hiroto. “aaaaa~~” Shou serasa menyuapi anak umur dua tahun
Malu-malu Hiroto membuka mulutnya, dan ia akhirnya memakannya juga. Sampai ia
sendiri terbawa suasana. Perutnya sudah kenyang karena sedari tadi ia terus
saja disuapi oleh Shou.
“gak dihabisin?” tanya
Shou yang masih menyumpit mie. “aku kenyang, Shou habisin yah~” pinta Hiroto
dengan manja khasnya. Dan Shou pun tak mampu menolak permintaan dari sang
kekasih.
Setengah dari ramen yang dimakan Hiroto, kini sudah habis termakan oleh Shou.
Selama Shou makan, Hiroto terus saja memperhatikan Shou. Menatapnya sampai Shou
jadi salah tingkah. Ini adalah sebagian kebiasaan yang tak akan pernah hilang dari
seoraang Hiroto, dan itulah yang membuat Shou tak mau melepas pemuda manis ini
barang sedikitpun.
Hiroto yang melihat mangkuk ramennya sudah kosong pun lalu menarik-narik lengan
Shou, “pulang, yuk. Udah sore”. Shou tersenyum dan segera mengambil uang di
sakunya lalu diberikannya pada penjual ramen di kedai itu. Mereka memakai helm
yang sedari tadi terpasang di jok sepeda motor dan bersiap untuk pulang.
Lagi-lagi Shou tak
mengantarkan Hiroto pulang, ia malah sengaja membawa Hiroto ke rumahnya dulu.
Hiroto yang terheran-heran pun bertanya “kita mau ngapain lagi?”.
“main-main saja dulu di sini, nanti ku antar. Tenang saja” ucap Shou santai
sambil berlalu ke kamarnya.
Hiroto hanya bisa duduk di sofa dan mengeluarkan iphone di tasnya. Sedikit ia
melirik ke dinding dan melihat sebuah foto keluarga berpigura rumit yang
setahunya kemarin tidak ada pajangan foto di situ. Aktifitas ‘bermain’ dengan
iphonenya pun terhenti, ia beralih melihat foto itu lekat-lekat. Semua orang
yang ada di foto itu mengenakan hakama dan kimono yang terlihat sangat mahal.
Dan mata Hiroto terfokus pada sosok yang ia yakini seorang Shou. ‘tampan
sekali’ gumamnya. Dengan mengenakan hakama berwarna hitam-putih, Shou berdiri
tegap layaknya seorang pejuang di jaman Edo. Ayah dan ibunya juga sangat
serasi, ditambah satu kakak perempuannya yang terlihat anggun dengan kimono
bercorak ‘satsuki’ disekelilingnya. Jelas sekali di mata Hiroto, kecantikan
Shou didapat dari ibu dan kakaknya.
Ia masih memandangi foto itu sampai tak sadar kalau Shou sudah memperhatikannya
sejak tadi. “ada yang salah dengan foto itu?”. Hiroto terkesiap dan buru-buru
membalikkan badannya ke arah Shou. “tt...tidak ada kok, hehe,”
“duduklah dulu,” ajak
Shou dengan dia berjalan duluan di depan Hiroto. Namun ketika melangkahkan
beberapa senti, kaki Hiroto tersandung kaki meja yang tepat diatasnya terdapat
sebuah guci antik nan mahal. Tak tanggung-tanggung, tangan Hiroto tak sengaja
mendorong guci itu dan akkhirnya—
PRAANNGG
Shou menoleh cepat dan mendapati Hiroto jatuh tersungkur memegang dagunya,
ditambah guci antik milik kakak Shou hancur berkeping-keping di lantai.
“oh tidak! Jangan guci
kak Runa”. Mendadak Shou memucat, ia panik melihat kepingan guci itu sudah
berhambur ke sana ke mari. Ia jadi lupa pada Hiroto yang masih meringis
kesakitan di sebelahnya.
Shou tidak menghampiri
Hiroto, melainkan mengumpulkan semua pecahan guci itu menjadi satu. Hiroto
benar-benar takut kalau nanti ia akan dimarahi Shou, terutama kakaknya.
“Shou-kun,
mm...maaf,,,” ia menunduk sambil menahan tangisnya. Raut sesalnya tak terlihat
Shou yang masih membereskan kepingan guci itu.
“lain kali hati-hati. Oh tidak, bagaimana kalau kak Runa tau ini?! Bisa mati
aku!” ucap Shou sedikit membentak dan masih tak menoleh ke arah Hiroto
“aku janji akan menggantinya”
Shou menghela napas “biar kau memecahkan celenganmu pun tak akan cukup!”
suaranya makin meninggi, dan ini yang paling ditakutkan Hiroto. Shou
benar-benar marah padanya.
“Shou-kun, aku benar-benar minta maaf...aku—“
“sudahlah, tak perlu minta maaf!” potong Shou cepat. “maaf aku tak bisa
mengantarmu. Kau bisa pulang sendiri, kan?!” walaupun ia mengucapkan begitu,
tapi Hiroto merasa Shou mengucapkannya dengan nada kesal dan seakan tidak mau
peduli.
Mata Hiroto menatap lirih, ia mengangguk lemas dan berjalan terhuyung-huyung ke
sofa-mengambil tasnya- dan pergi dari rumah Shou tanpa mengucapkan apapun.
Hatinya sakit, ia tau ia yang salah tapi itu juga bukan kehendaknya dia. Ini
semua hanya kecelakaan, dan yang lebih menyakitkan Shou sama sekali tak peduli
dengan keadaan Hiroto setelah terjatuh tadi.
Hiroto pulang ke rumahnya setelah lima belas menit berjalan kaki dari rumah
Shou. Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul enam sore. Segera ia
melepas pakaiannya dan lekas untuk mandi. Di dalam bathtub ia merendam tubuhnya
sampai sebatas bawah hidung. Matanya terpejam namun mengeluarkan
butiran-butiran air dari ujungnya. Otaknya serasa terus memutarkan rekaman
kejadian tadi walau sebenarnya ia tak ingin mengingatnya. Baru kali ini Hiroto
melihat Shou semarah itu padanya, biasanya Shou hanya marah beberapa menit dan
di menit berikutnya ia sudah tak marah lagi pada Hiroto.
Tapi kali ini benar-benar beda. Shou mengacuhkannya.
Ia kembali tenggelam
dalam suasana ‘berkabung’.
Badannya yang mulai menggigil menyuruhnya untuk segera keluar dari bathtub, memakai
baju handuk dan berjalan gontai ke kamarnya. Pikirannya kalut, ia segera
mengganti baju dan bergegas tidur.
Selama mencoba untuk tidur, tubuhnya seakan tak mau diajak kompromi.
Sebentar-sebentar ia menghadap ke kiri, ke kanan, ke kiri, dan ke kanan lagi.
Ia sangat gelisah, dan ia akhirnya memutuskan untuk tetap terjaga.
Kembali teringat soal guci itu, ia pun berdiri dan membuka isi lemari besar di
sampingnya. Wajahnya langsung ceria ketika melihat sebuah celengan kucing yang
cukup besar tergeletak di pojok lemari rak paling atas.
Ia mengambilnya dan meletakkannya di lantai. Celengan kucing yang terbuat dari
keramik itu tak membuatnya berpikir dua kali untuk memecahkannya. Niatnya sudah
bulat untuk mengganti kerugian yang ia timbulkan. Walaupun ia tidak yakin kalau
uang itu akan cukup.
Sebuah tongkat baseball di ayunkannnya ke arah celengan itu. Dan semuanya
bercecer kemana-mana. Senyumnya kembali tergurat, uang yang ia kumpulkan selama
dua tahun terakhir ini cukup membuatnya sedikit bernapas lega. Uang sebesar
lima belas ribu yen sudah ditangan. Namun ia masih memerlukan uang yang lebih
banyak untuk dapat melunasi ‘hutangnya’ itu. ‘Tapi dengan cara apa?!’ jeritnya
frustasi.
***
Pukul enam empat lima,
Shou sudah bersiap di depan rumah Hiroto untuk menjemputnya seperti biasa.
Klakson pun ia bunyikan, namun tak ada tanggapan. Setelah beberapa kali ia memencet
klakson yang terdengar sangat berisik itu, pintu rumah Hiroto pun terbuka tapi
bukan Hiroto yang keluar, melainkan ibunya.
“oh, Shou? Cari
Hiroto?” sang ibu bertanya ramah dan Shou tersenyum mengangguk “pagi-pagi
sekali dia sudah berangkat sekolah. Apa dia tak memberitahumu?”
Shou terkejut mendengarnya,
ia bahkan tak diberitahu Hiroto kalau ia akan berangkat ke sekolah sendiri
“tidak tante. Terimakasih sebelumnya, saya berangkat dulu. Permisi”.
Selama menaiki motor, Shou terus memikirkan Hiroto. Ia menerka-nerka apa
jangan-jangan Hiroto merasa bersalah karena kejadian kemarin. ‘tsk. Kau bodoh
Shou! Bodoh!’ rutuknya dalam hati
Di dalam kelas Shou mendapati Hiroto tidak lagi duduk di tempat biasanya-di
belakang duduk dengan Shou-, melainkan kini justru duduk di depan dengan Nao. Shou
mendekatinya yang tengah menulis catatan.
“Hiroto—”
Kegiatan menulisnya ia hentikan dan mendongak pelan. Hiroto tau, itu suara Shou
dan ia melihatnya sekilas dan menunduk lagi.
“maafkan aku, Hiroto. Kemarin aku tak bermaksud mengacuhkanmu” sesal Shou
“kau tak perlu minta maaf, karena aku yang salah” ucap Hiroto tanpa memandangi
Shou
“kau tidak salah apapun. Itu hanya kecelakaan, dan kuharap kau mau mengerti”
“...”
“duduklah denganku lagi. Aku kesepian tanpamu” bujuknya
“maaf. Aku agak kesulitan duduk di belakang karena mataku buram” ujarnya bohong,
dengan begini Shou tak akan memaksanya lagi
“tapi kau janji akan
duduk denganku lagi, kan?” harap Shou lagi, sementara Hiroto hanya mengangguk sekenanya.
Semua murid tak
terkecuali Shou pun dengan semangatnya untuk pulang ketika bel pulang sudah
berdering. Ia kembali ke meja Hiroto di depan dan mengajaknya untuk pulang
bersama.
“ayo” ajak Shou
tersenyum sambil mengulurkan tangannya
“maaf, aku tidak langsung pulang hari ini” ucap Hiroto yang langsung membuat
Shou keheranan. Tak biasanya Hiroto seperti ini, bahkan setiap kali Shou
mengajaknya, dengan semangat Hiroto pasti menerimanya senang hati. Tapi kali
ini,..
“kau mau ke mana dulu.
Nanti aku antar deh” bujuknya lagi
“tidak perlu. Aku bisa ke sana sendiri”
“kau kenapa sih dari tadi? Kau menghindar terus? Aku kan sudah minta maaf” Shou
nampak kecewa dengan tingkah laku Hiroto ini.
“maaf, Shou-kun. Aku
harus ke sana sekarang. Terimakasih sudah menawariku” Hiroto menggendong tasnya
dan pergi dari situ dengan sebelumnya ia memberi senyuman pada Shou
“Hiroto, tunggu—”
ushanya sia-sia saja. Hiroto sudah keburu hilang dari pandangannya.
***
Hari berikutnya, Shou
lagi-lagi tak bisa menjemput Hiroto dengan alasan yang sama, Hiroto sudah
berangkat lebih dulu darinya. Dan ajakannya untuk mengantar Hiroto pulang pun
juga ditolak. Ia jadi merasa kalau Hiroto benar-benar belum memaafkannya.
Sekitar jam sepuluh
malam, Shou coba menelepon Hiroto. Namun tidak aktif. Maka ia beralih menelepon
ke nomor rumahnya. Shou sudah sangat senang ketika panggilannya diangkat.
Tapi,...
“moshi-moshi, koko wa
Ogata no Kazoku desu” ucap seorang wanita yang terdengar seperti ibu Hiroto
“moshi-moshi, tante. Ini Shou, Hirotonya ada?” ucapnya sopan
“oh, dia belum pulang Shou. Katanya dia akan menginap di rumah Nao”
Shou pun buru-buru mengucapkan terimakasih dan segera menutup teleponnya. Dan
sekarang kini ia beralih menelepon Nao.
“ada apa, Shou?” tanya
Nao
“apa Hiroto ada di rumahmu?”
“tidak” ucapnya santai
“haaa?! Barusan ibunya bilang kalau ia akan menginap di rumahmu malam ini”
cecar Shou panik
“benarkah? Oh, aku benar-benar tak tau”
Shou mengehala napas “terimakasih—“ dan sambungan terputus.
‘kau benar-benar
membuatku cemas, Hiroto’ batin Shou
Sudah hampir seminggu
Hiroto memperlakukan Shou seperti itu. Jika setiap kali Shou bertanya, Hiroto
hanya menjawabnya dengan kalimat yang nyaris persis ‘maaf’ dan ‘maaf’. Tak ada
penjelasan lain yang dapat membuat Shou puas. Ia hampir gila dibuatnya.
Seperti saat jam pelajaran Kaede sensei misalnya, Hiroto tengah dibuat malu
seisi ruangan.
“Ogata-san!” seru Kaede
sensei yang menghampiri ke meja Hiroto, sementara aku dan yang lainnya menatap
takut pada pemandangan itu.
Kulihat Hiroto bersusah
payah menggerakkan kepalanya untuk tegak. Aku kasihan padanya, dia sedang
tertidur saat jam pelajaran. Ok, itu hal yang mungkin wajar ketika kau sedang
kelelahan, tapi ingat, ini pelajaran siapa?! Kaede sensei! Oh, aku saja tak mau
mengingat nama guru mengerikan itu.
“ini sudah ketiga
kalinya kau tidur pada jam pelajaranku. Sebagai hukumannya, silakan ke koridor
dan pikirkan kesalahanmu!”
Dengan wajah lusuhnya,
Hiroto terpaksa meninggalkan kelas sampai pelajaran Kaede sensei berakhir.
Apa yang telah
kuperbuat padanya?!! Shou baka!
***
Malam itu, ya, Saturday
night. Bukan satnite seperti biasa, kali ini Shou tak ditemani Hiroto sang
kekasih. Seperti yang kalian tau, seminggu ini Hiroto selalu menghindarinya
tanpa alasan yang jelas.
Masih dalam lamunannya,
Shou sampai tak mendengar jika bel rumahnya terus berbunyi dari tadi. Merasa
tak ada yang membukakan pintu, dengan
malas Shou akhirnya membukanya.
Sangat terkejut memang, Shou seperti tak sadar jika seseorang yang membunyikan
bel rumahnya dan orang yang sedang ada dihadapannya ini adalah Hiroto. Ia tak
percaya, dan beberapa kali menepuk pipinya sendiri.
“konbanwa, Shou-kun”
sapa Hiroto dengan suara imutnya. Dan hal ini menyadarkan Shou kalau ini
bukanlah mimpi
“kk..konbanwa.. Hiroto?!”
“maaf sudah membuatmu khawatir belakangan ini” ucapnya menyesal “aku kemari
hanya ingin memberikan ini”
Hiroto menyerahkan sebuah amplop coklat panjang yang cukup tebal pada Shou. Dan
Shou terlihat agak ragu menerimanya
“ini sebagai ganti rugi
guci kak Runa. Aku tau ini sangat tidak cukup, tapi kumohon terimalah permohonan
maafku ini. Terutama untuk kak Runa” Hiroto mengucapkannya tanpa berani melihat
mata Shou secara langsung.
Shou terdiam dan tersenyum pada anak manis didepannnya kini. Ia bisa merasakan
kesungguhan dan kerja keras di dalam diri Hiroto.
“Hiroto—“
“hmm?”
“dari mana kau dapat uang sebanyak ini?”
Hiroto tak cukup berani
menjelaskan asal-usul uang itu, ia hanya bilang itu hasil tabungannya saja
“benar begitu?” tanya Shou tak percaya
“maaf. Aku bekerja part time seminggu ini, dan uangnya sudah kuberikan semua”
Shou mengacak-acak rambut Hiroto lembut “kau seharusnya tak perlu melakukan
ini”
“kenapa? Apa sia-sia saja karena pasti tak cukup? Oh, seharusnya aku tau itu”
kecewanya
“bukan!” sanggah Shou
“lalu?”
“guci yang pecah itu
ternyata hanya duplikat saja. Kemarin kak Runa bilang padaku kalau yang asli
ada di kamarnya. Jadi sudahlah, ini aku kembalikan” Shou menyerahkan lagi
amplop berisi uang itu pada Hiroto, sementara Hiroto menatap Shou dengan
tatapan lega bercampur menyesal
“masuklah, di luar dingin”
Hiroto mengangguk
Masalah sudah selesai,
dan semua kembali berjalan seperti semula. Mereka berusaha melupakan semua hal
yang terjadi tadi.
Tetap menjadi sepasang kekasih yang romantis
Owari