Title: Glossy
Cherry
Author: Hikari Ogata a.k.a Eri Tonooka
Chapter: 1/1 –OneShot-
Pairings: ToraXSaga
Rating: PG-17
Genre: Yaoi, Fluff, SHOUnnen-Ai
Disclaimer: I don’t own them, They belong to PS Co. (disclaimernya basi amat, yasutralah~)
A/N: fic pendek lagi yang dibuat kurang lebih enam jam karena kebanyakan nyambi pesbukan. Wuoh~~ kangen ToSa *hug them*
Author: Hikari Ogata a.k.a Eri Tonooka
Chapter: 1/1 –OneShot-
Pairings: ToraXSaga
Rating: PG-17
Genre: Yaoi, Fluff, SHOUnnen-Ai
Disclaimer: I don’t own them, They belong to PS Co. (disclaimernya basi amat, yasutralah~)
A/N: fic pendek lagi yang dibuat kurang lebih enam jam karena kebanyakan nyambi pesbukan. Wuoh~~ kangen ToSa *hug them*
Glossy Cherry
vistlip. – EVE
vistlip. – EVE
Mungkin kau tak akan percaya apa yang baru saja terjadi padaku semalam. Niatku yang awalnya hanya pergi ke pub untuk melepas penat justru berubah menjadi kejadian yang dramatis. Pub bukanlah tempat yang aman, errr maksudku bukan tempat yang tepat untuk sekedar melepas kekesalan dengan melempar satu dua panah ke papan dart. Pub adalah hiburan malam yang tak semua orang bisa memasukinya. Bau alkohol, ganja, dan bau seks bisa kau cium dengan mudah. Pasti kau beranggapan bahwa aku orang penggila wanita seperti orang-orang ‘gila’ di sana, bukan?
Sejujurnya tidak. Seumur hidup aku tak
pernah mengencani satu wanita pun. Bukannya aku naif, hanya saja mereka
bukanlah wanita yang kusuka. Oke, secara fisik mereka sangatlah cantik, tapi
entah mengapa aku tak bisa hanya membawanya ke apartemenku dan bercinta semalam
saja lalu setelah itu kubuang mereka. Tidakkah itu jahat? Sungguh aku akan
membenci diriku seumur hidup jika aku melakukannya.
Satu kejadian di malam tadi yang
membuatku akhirnya membawa seseorang untuk tidur di apartemenku. Bukan. Dia
bukan wanita jalang yang memohon padaku untuk diselamatkan karena sedang diburu
oleh sekawanan penjahat. Bukan pula wanita baik-baik yang tak sengaja mabuk di
pub karena baru pertama kali meminum alkohol.
Dia laki-laki.
Awal pertemuan yang sering kau lihat di
serial drama terkenal, aku bertemu dengannya secara kebetulan. Saat itu aku baru
saja menenggak vodka yang ketiga-menyisakan hiasan buah ceri di bibir gelas-dan
berbarengan dengan kedatangan seorang yang kuketahui dia seorang DJ masuk ke
pub. Laki-laki jangkung dengan kemeja kotak-kotak berwarna biru yang sengaja
dibiarkan tak dikancing, sehingga kaos putih di dalamnya menjadi terlihat.
Tangannya yang terlihat kurus itu mengambil headphone dan memasangnya sembari
menyetel perlengkapan DJ yang ada di sana. Mataku tak mau berhenti mengikuti
gerak-geriknya bermain DJ. Pria yang keren. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri,
entah mengikuti irama khas DJ atau yang lain apapun itu aku tak tau.
Malam semakin larut dan suasana pub
bertambah ramai. Aku tak habis pikir dengan orang-orang ini. Apa mereka tak
ingin tidur? Tubuhku sudah lelah dan aku ingin pulang segera. Namun saat aku
hendak membayar semua vodka yang kuminum, tiba-tiba terdengar suara sesuatu
yang berat terjatuh. Beberapa orang panik dan segera menuju ke sumber suara.
Dan apa yang kulihat saat ini? Pria DJ yang kulihat tadi mendadak pingsan dan
tubunya diangkat oleh beberapa karyawan di pub itu. Mereka nampak kebingungan
dengan kondisi DJ itu, sementara musik DJ yang sempat tak dimainkan itu diambil
alih oleh orang lain.
Tak ada hal penting yang harus aku
lakukan jika tetap di sini. Aku lebih memilih beranjak keluar dan menikmati
istirahat nyaman di kasur empuk ku. Tapi seseorang memanggilku.
“hey, kau!”
Kulihat si pemilik suara, dia adalah
karyawan di pub itu-terlihat dari seragamnya- yang masih mengurus DJ yang
pingsan mendadak tadi. Untuk apa dia memanggilku?
“kemari sebentar”
Aku berjalan ke arahnya sesuai
perintahnya, tapi sebenarnya aku hanya ingin melihat keadaan pria DJ itu. “kau
mau pulang, kan?”. Aku mengangguk.
“tolong kau antarkan dia ke rumahnya!”
ucap lelaki pirang itu sedikit panik. Yang benar saja? Aku bahkan tak
mengenalnya, apalagi mengantarnya pulang?. “aku tak tau—”
“atau bawa dia ke rumahmu dulu. Dia sedang sakit!” terkesan memaksa kalau boleh kubilang. Orang asing ini akan bermalam di apartemenku? Kenapa harus aku?
“atau bawa dia ke rumahmu dulu. Dia sedang sakit!” terkesan memaksa kalau boleh kubilang. Orang asing ini akan bermalam di apartemenku? Kenapa harus aku?
Pria karyawan berrambut pirang itu
mengambil sesuatu dari saku celananya. Sebuah dompet yang di dalamnya terdapat
kartu berwarna cokelat. “bawalah ini, itu kartu jaminan kesehatannya. Kalau sakitnya
parah, tolong bawa dia ke dokter”
Aku menerima kartu itu dan memasukkannya
ke saku kemejaku. Kutatap enggan pria DJ yang malang itu, dan terpaksa aku
harus membawanya pulang. Itu artinya dia akan berada di apartemenku selama
semalam. Aku bahkan tak pernah berpikir akan membolehkan orang asing tidur di
kamarku. Oh ya, aku hanya punya satu kamar yang besar. Bagus. Harapanku untuk
bisa tidur di kasur empuk malam ini harus tertunda dulu. Sesuai kata Kaasan,
tamu adalah prioritas.
***
Suara burung gereja yang selalu berisik
di luar apartemenku, mengisyaratkanku agar segera bangun. Ah, bukankah ini
sudah pagi? Cahaya lampu pasti tak akan secerah ini, sebuah selimut sudah ada
di atas tubuhku. Aku terbangun di pagi ini dengan keadaan yang aneh. Ada
selimut tebal terbentang menyelimutiku dan tirai jendela yang semalam tertutup
sekarang sudah terbuka sepenuhnya. Membiarkan sinar matahari pagi memasuki
apartemenku. Menyilaukan.
Kebiasaanku tiap pagi sehabis bangun
tidur adalah ke kamar mandi. Tak perlu kujelaskan pasti kau sudah tau apa
kebiasaanku itu. Kuputar kenop pintu kamar mandi dan mendorongnya ke dalam. Dan
seketika aku melihat pemandangan yang langka. Sangat langka bahkan aku sampai
tak bisa bicara karenanya.
“ohayou..” pria DJ yang semalam pingsan
itu sudah berada di kamar mandiku dengan kaos putihnya yang tergerai sebatas
paha. Hanya kaos putih itu yang ia pakai. Tanpa celana dan kemejanya yang ia
kenakan seperti tadi malam. Dengan santainya ia menyikat giginya dengan sikat
gigi milikku. Menoleh seakan ia tak melakukan perbuatan dosa satupun.
“ah maaf. Aku pakai sikat gigimu..” ia
membersihkan sisa busa di mulutnya dan mengelap sekenanya. Permintaan maaf
macam apa itu?
“terimakasih sudah membolehkanku tidur
di sini”. Ah ya! Tidur! Dengan pakaiannya yang seperti ini, aku tak melakukan
hal yang macam-macam padanya, kan? Refleks aku melihat seluruh tubuhku dan
mengecek apakah baju dan celanaku masih lengkap.
“kita tak melakukan apapun kok. Aku
hanya senang memakai kaos ini saat bangun tidur. Kau tidak suka, ya?” ucapnya
lagi sambil memilin kecil ujung kaosnya. Rambutnya terlihat masih berantakan
dan ada sedikit lingkar hitam di bawah matanya, tapi aku bisa melihat pancaran
sinar dari matanya itu bukanlah pancaran biasa.
Cantik.
Sungguh, dia memang pria yang manis
dengan ekspresi wajah seperti itu. Aku mungkin akan memberinya beberapa ‘tiket’
menginap di sini satu atau dua malam lagi.
“tak masalah. Err.. Kamu sudah baikan?”
tanyaku sepelan mungkin. “..ya sedikit”. Suasana menjadi canggung sesaat. “mau
ke dokter?” tawarku. Yah setidaknya aku hanya mengantarkannya, masalah
pembayaran dia ‘kan punya kartu jaminan kesehatan.
“ah, tidak perlu. Aku hanya butuh vitamin penambah darah,,” dia tersenyum kecil “..anemia”. Oh, pantas saja pucat. Ternyata kurang darah..
“ah, tidak perlu. Aku hanya butuh vitamin penambah darah,,” dia tersenyum kecil “..anemia”. Oh, pantas saja pucat. Ternyata kurang darah..
“sekali lagi maafkan aku. Um, aku Saga.”
Dia membungkuk kikuk dan aku menggosok-gosok hidung tidak jelas. Mungkin aku
sama kikuknya dengan orang ini.
“Tora. Cukup Tora saja”
“Tora. Cukup Tora saja”
***
Yah, hari ini dia mengajakku sarapan di
luar. Keadaan yang pas saat di dapur tak ada bahan makanan dan kami juga
sama-sama tak bisa memasak.
Hanya sarapan biasa di kedai ramen, kami
sudah cukup puas dan kenyang. Karena dia yang mengajak, jadilah ia yang
membayarkan. Aku anggap ini salah satu balas budinya. Ya salah satu, karena aku
sedikit berharap lebih darinya.
Kami berjalan pelan sembari mengobrol
ringan. Obrolan standar yang sering kau dengar dari orang-orang yang baru saja
berkenalan. Sampai ia melihat kedai es krim di ujung jalan sana. Ia pergi
begitu saja meninggalkanku dan menghampiri sang penjual es krim, aku
mengikutinya dari belakang.
“pesan dua.” Ucapnya kepada sang penjual
es krim paruh baya itu. Melihat bagaimana cara pembuatan es krim itu, Saga
sangat tertarik dan terus mengucapkan kata ‘sugee’. Pembuatan es krim di kedai
itu setauku memang yang paling modern dan alat-alatnya pun nampak seperti
robot. Tak heran jika dia merasa antusias.
“terima kasih sudah membeli.” Penjual es
krim itu memberikan dua cone es krim coklat dengan ujung yang diberi ceri merah
berukuran cukup besar. Setelah Saga membayarnya ia memberikan salah satu es
krimnya padaku. Sudah kuduga, ini adalah ungkapan balas budinya yang kedua.
Seolah tak lelah berhenti berjalan, ia
kembali menggiringku ke taman dan duduk di bangku yang kosong. Sebelum aku
menjilat ujung as krim yang hampir meleleh itu, aku mengambil cerinya dan
membuangnya. Saga melihatku dengan alis yang bertaut. “kenapa dibuang?”.
“oh, aku tak suka ceri”. Buah ceri itu tidak enak. Penampilannya saja yang menipu, warnanya yang merah merekah itu jika dimakan ternyata tidak semanis rupanya. Aku hanya tidak suka saja buah-buah seperti itu.
“oh, aku tak suka ceri”. Buah ceri itu tidak enak. Penampilannya saja yang menipu, warnanya yang merah merekah itu jika dimakan ternyata tidak semanis rupanya. Aku hanya tidak suka saja buah-buah seperti itu.
“aku akan buat kau menyukainya..” dia
mengambil ceri di es krimnya dan melepas tangkainya dengan menggigitnya. Yah,
aku tau dia memakannya, atau lebih tepatnya menyimpan di dalam mulutnya.
Menyimpan ceri di dalam mulutnya dan
mentransfernya ke dalam mulutku adalah hal gila yang pernah kualami. Dengan
mudahnya ia ‘menyuapi’ ku dengan cara seperti itu. Barusan apa yang terjadi??
Dia menciumku, oh.. dan ceri itu sudah berada di dalam mulutku berkat usaha
lidahnya yang memaksa masuk menerjang pertahananku.
Rasa yang beda dari ceri yang aku makan
terakhir kali.
Manis.
Tak terasa ceri itu menghilang tertelan
dan kami masih tetap berciuman. Di saat ceri itu sudah tak ada, mengapa rasa
manisnya tak kunjung hilang. Bahkan lebih manis dari yang tadi. Aku tak mau
melepasnya sekarang. Dorongan lain muncul saat aku benar-benar menikmatinya.
Menganggap bibir kecil Saga adalah buah ceri yang manis.
Saga pun mengakhirinya dengan senyumnya
yang malu-malu. Wajahnya yang pucat pun berubah menjadi merah merona, dan
bibirnya persis seperti buah ceri merah yang matang. Mengkilap dan membuatku
ingin melahapnya sekali lagi.
Dia pun tertawa melihat tingkahku.
Bodoh! Mudah sekali aku berciuman
dengannya, padahal aku belum pernah melakukannya dengan wanita. Jujur, Saga lah
yang pertama berhasil melakukan ini. Dan aku tak perlu kecewa padanya, karena
yang barusan itu sungguh mengesankan.
Aku menyukainya.
Ya. Pria DJ yang membuatku merasa nyaman
berada di dekatnya. Saga.
OWARI
No comments:
Post a Comment