Monday, March 24, 2014

Fanfic alice nine: Locked into your Eyes

Title : Locked into your Eyes
Author : Eri Tonooka
Chapter : Oneshot (length: 3681 words)
Pairings: ToraXHiroto (slight), ShouXHiroto
Guest: Byo from SCREW
Genre: School life, Family, YAOI, Sho-ai, Fluff
A/N: Fanfic jadul yang di propertiesnya tertanggal 12 Agustus 2012. Saya bener2 gak pede ngepost ini, tapi daripada lumutan di laptop dan saya paling sebel ngeliatnya di daftar jadi ya sudahlah, diposting aja XD. Harap maklum karena bahasa dan idenya masih ababil sekali m(_ _)m. Sumpah maap banget bagi para istrinya Byo, karena gw nistakan dia disini *kabor sebelum dilempar bata*


Locked into your Eyes
SCREW – answer


 “kemarikan cepat, bocah!” laki-laki berseragam sekolah itu menarik kerah seragamku yang rapi, mengaduk-aduk kantong di baju dan berakhir di celanaku. Entah ini yang sudah ke berapa kalinya mereka memperlakukanku seperti ini.

Ia mencari uang di sana.

“aku tak punya uang. Kumohon lepaskan aku” hampir menangis aku terus memohon padanya. Tapi ia tak percaya begitu saja. Tas yang sedari tadi kugendong tak luput dari penglihatannya. Ia merampasnya dan menghamburkan seluruh isi tasku ke tanah. Buku-bukuku, dan... dompetku.

Sial, ia menemukannya.

“kau bilang kau tak punya uang?! Beraninya membohongiku! Rasakan ini!”

DUAGH

Tepat di bagian ulu hati, ia meninjuku. Sakit sekali dan membuatku mati rasa sesaat. Kulihat samar ia mengambil dompetku dan membuka isinya. Ya Tuhan, itu semua uang pemberian Papa untuk keperluanku di sekolah selama seminggu. Dia mengambil semuanya. Aku tak bisa bergerak.
Papa, maafkan aku. Aku sangat lemah.

“terima kasih bocah atas uangnya. Besok kita akan bertemu lagi di sini” ucapannya memuatku merinding. Dia yang notabene yankee sekolah sudah menjadikanku target incarannya. Dan aku tau pasti hidupku tak akan bisa tenang.

‘Papa...’

“Pon, Hiropon, bangun sayang.” Suara Papa

“Hiropon, bangun. Sudah pagi”. Kulihat Papa sudah ada di sampingku. Bagaimana bisa? Astaga, aku bermimpi buruk lagi. “kau pasti bermimpi buruk..” ucapnya lembut.“iya Papa. Aku takut” ia mendekatkan dirinya padaku. “takut kenapa? Cerita sama Papa” raut wajahnya terlihat sangat khawatir.
“aku takut ke sekolah lagi” Ia menghela napas “Papa tau. Untuk itu, hari ini kau harus pergi ke sekolah barumu.”

“sekolah baru? Kenapa Papa tak bilang padaku?” tanyaku protes, walau setengah hati aku bersyukur. “tak penting di bahas, sekarang cepat kau mandi dan pakai seragam baru yang Papa siapkan di lemari bajumu.”

Masih bertanya-tanya dalam hati, kenapa Papa tau aku takut ke sekolah dan memasukkanku ke sekolah baru? Padahal selama ini aku tak pernah berserita soal kebiasaan senior kelas itu merampas uangku. Atau jangan-jangan—?

Aku dan Papa sudah berada di kursi meja mekan. Melaksanakan rutinitas tiap pagi yang tak boleh dilewatkan, sarapan.

“makanan sudah siap. Makan yang banyak, ya. Biar kuat” Papa mengacak rambutku yang tadinya rapi berubah jadi berantakan. Aku menoleh sekilas “Papa tau kan aku tak akan pernah bisa kuat..” ucapku skeptis.

“makanlah, Papa tak mau kau di sekolah pingsan gara-gara tidak makan” suruhnya sambil menuangkan segelas susu putih ke mangkuk serealku. “iya Papa.” Baru beberapa suap sereal, aku sudah menyudahinya. Hal yang seperti biasanya aku lakukan. Dan Papa langsung menceramahiku sesudahnya.

“ayo Papa, aku sudah selesai”
“kau ini selalu saja” terlihat Papa terpaksa tidak menyelesaikan makannya hanya untuk menuruti keinginanku “jangan lupa kau harus bersikap baik pada teman barumu di sana, ya”
Aku hanya mengangguk dengan tatapan malas. Memang wataknya begitu protektif padaku setelah ibu tidak ada. Kata Papa, waktu aku masih berusia beberapa bulan ibu pergi dari rumah dan tak kembali sampai sekarang. Jangan tanya kenapa, aku sama sekali tak merindukan sosok ibu, rupanya saja aku tak pernah liat. Masa bodoh.

Atmosfer yang seperti biasa, sekolah dengan murid-muridnya yang berlalu lalang seperti di mall. Kau pikir aku percaya apa yang Papa katakan padaku tadi pagi? Tidak sama sekali. Aku bahkan berencana ingin memakai baju zirah agar para yankee di sekolah ini tak berani mendekat padaku. Ayolah, setiap sekolah itu pasti memiliki beberapa murid yang bertitel yankee. Bahkan sekolah kerohanian sekalipun.

Seakan tak peduli dengan ‘calon teman’ baru di sekelilingku, aku berjalan santai dengan Papa memandu di depan. Ia membawaku ke ruang kepala sekolah di sana. Sebelum benar-benar masuk ke ruangan itu, aku sempat mendengar bisik-bisik murid yang melihatku dengan tatapan aneh, yang pembicaraannya juga tak kalah aneh. Mereka mengataiku. Huh, dasar labil.

Papa menyuruhku duduk tepat di seberang meja kepala sekolah, sesaat sebelumnya ia dulu yang duduk. Aku tak mendengarkan perbincangan mereka yang sangat formal itu. Hanya menjawab seperlunya ketika kepala sekolah itu menanyaiku. Kulihat sekeliling isi ruangan besar itu dan melihat jam dinding yang terpajang di atas kalender. Pukul 08.30. Biasanya kalau jam segini, di sekolah lamaku sudah mulai melaksanakan kegiatan belajar. Ah, kenapa aku harus mengingat masa-masa suram itu? Menyebalkan.

“Hiroto-san, ini buku pribadi anda dan di situ tertera kelas yang akan anda tempati” ucap sang kepala sekolah memberikan buku berwarna hitam seukuran notebook kecil padaku.
“terima kasih pak. Saya harap, anak ini bisa memberikan yang terbaik untuk sekolah ini” kini Papa yang terlihat senang sekali melihat aku sudah resmi jadi murid SMA bernama Kazuri Gakuen ini.
“saya juga berterima kasih, Amano-san. Semoga seperti yang kita harapkan”

Mereka berjabat tangan dan pembicaraan selesai. Aku dan Papa keluar dengan diantar seorang guru yang kebetulan melewati ruangan itu. Guru wanita itu mengantarkanku sampai depan kelas II A.

“Papa sekarang boleh pulang. Aku akan baik-baik saja di sini” pintaku pada Papa yang masih menuntunku sampai ke ruang kelas. “jaga dirimu baik-baik ya. Kalau sudah pulang, telepon Papa. Nanti Papa jemput”. Lagi-lagi aku mengangguk. Sebelum ia pergi, ia mencium keningku dan memberiku beberapa lembar uang seratus yen untuk uang jajan. Punggungnya yang lebar nampak jelas dengan tubuh tegapnya ketika ia membalikkan badan. Sosok yang sempurna kalau kubilang jika melihat diriku sendiri yang biasa saja. Tidak seperti dia.

Suara riuh memecah suasana seisi ruangan ketika aku masuk ke kelas baruku. Muridnya laki-laki semua, entah sampai kapan aku bisa bertahan di sini.

Guru yang mengajar juga menghentikan aktifitasnya ketika aku menunjukkan buku pribadi siswa yang diberikan kepala sekolah itu tadi. Ia lalu mengenalkanku singkat pada seluruh siswa di sana, dan pastinya aku sendiri yang memperkenalkan diri secara lebih jelas.

“Hiroto Amano desu. Pindahan dari SMU Asuka” ucapku singkat. Seorang di pojok kelas menginterupsi “hei, di sana banyak gadis-gadis tidak?”
“banyak. Kenapa memangnya?” kujawab sekenanya saja. Ia tak menjawab, pandangannya malah menuju ke luar kelas. Kurang ajar, aku tak dipedulikannya. Seperti orang bodoh saja aku ini.

“silakan cari kursi kosong dan ikuti pelajaran saya hari ini, Amano-san”
Seperti yang guru itu suruh, aku duduk di belakang-paling belakang- karena satu-satunya kursi kosong yang ada hanya di situ. Jujur aku tak bisa melihat ke papan tulis di depan yang sebegitu jauhnya, mengingat minusku yang hampir mencapai 2,6.

“sensei, boleh aku duduk di depan?” tanyaku meminta persetujuan darinya
“kenapa dengan tempat dudukmu sekarang?”
“mata saya minus dan hari ini saya lupa membawa kacamata”
Sepertinya ia agak kebingungan mencarikanku tempat di depan yang memang tak ada satupun yang kosong seperti kubilang tadi. Sampai salah satu di antaranya angkat bicara dan menoleh ke arahku. “kalau kau mau, kau bisa duduk di tempatku”
“kau tak keberatan?” tanyaku ragu. “tidak. Aku pikir aku bisa membantumu” ucapnya ramah. Dia orang yang baik.
“terima kasih” aku pergi menuju ke tempat duduknya, sedangkan ia menyimpuni semua peralatan yang ada di mejanya tadi ke dalam tasnya. Ia pergi ke belakang dan sebelumnya tersenyum padaku lebih dulu.

Sekarang aku bisa melihat ke papan tulis dengan jelas. Oh, hampir tak terasa kalau ada satu deskmate di sebelahku. Sepertinya orangnya tinggi, tapi dia terlihat cukup kurus dari samping. Hidungnya mancung sekali, seperti hidung Papa. Dan kulitnya putih bersih, tak sepertiku yang agak kekuningan. Seperti bukan orang Jepang saja.

Ia berdehem. Mungkin merasa gerah dengan aktifitasku yang meperhatikannya terus. Buru-buru aku kembali memerhatikan pelajaran. Sampai istirahat pertama pun, aku tak ada berbicara sedikit dengannya. Kupikir orang ini sombong sekali, bahkan tersenyum saja tidak ia perlihatkan padaku.

Istirahat pertama pun tiba. Karena tak punya teman di sini aku hanya berdiam diri saja di kelas. Beralih ke orang yang tadi membolehkanku duduk di tempatnya. Wah, dia sedang sendiri di sana. Ajak ngobrol sepertinya bukan keputusan yang buruk.

“hei” sapaku yang lebih terdengar sok akrab.
“hei juga” balasnya.
“tidak istirahat?”
“aku sedang malas hari ini. Kau sendiri?”
“aku tidak tau jalan ke kantin, dan aku takut sendirian” ucapku benar-benar jujur.
“oh, ya. Aku Shou” ia menyodorkan tangannya padaku “dan..hmm, namamu tadi??” ia berpikir, mengingat-ingat namaku.

“Hiroto desu. Senang berkenalan denganmu, Shou-kun”
“semoga kau betah di sini, ya” ucapnya terdengar mencurigakan “..kenapa?”
Ia mendekatkan wajahnya padaku dan berbisik pelan “aku takut kau akan menjadi korban keganasan Byo”. 
Alisku bertaut “siapa itu Byo?”. Mata besarnya melihat ke kanan dan ke kiri ruangan dan berucap pelan-sangat pelan- “...dia yankee gay di sekolah ini.” Spontan aku menutup mulutku degan kedua telapak tanganku “yankee? Gay? Kenapa bisa begitu?”

“panjang ceritanya. Dan kau tau orang yang duduk di sebelahmu tadi?” aku menggeleng.
“dia hampir ‘dimakan’ oleh Byo itu” kata-kata yang ia lontarkan sangat serius dan seratus persen aku percaya itu “dimakan? Maksudnya—“
“ya seperti itulah. Nama anak itu Saga, waktu itu sekitar tengah semester yang lalu ia pulang sendiri dari sini karena harus piket. Pada saat itu juga, ada Byo beserta pasukannya melewati kelas ini. Katanya sih, mereka sudah berniat dari awal untuk memburu Saga—” ucapnya terhenti, ia mengambil napas beberapa kali.

“pasukan Byo menyeret paksa Saga ke ruang kelas, sementara Byo menguncinya dari dalam. Saga yang panik tak henti-hentinya berteriak. Dan untungnya sebelum kejadian itu benar-benar terjadi, salah seorang petugas sekolah mendobrak pintu dan melempari Byo dan pasukannya dengan penghapus papan tulis” tuturnya panjang lebar.
“lalu? Jangan-jangan dia trauma?” tanyaku antusias.
“sepertinya begitu. Walaupun kami sudah berteman dari SMP, semenjak kejadian itu ia menjadi pribadi yang tertutup. Dan hal yang paling ia takutkan kalau ia harus melewati ruang kelas II F, ia takut bertemu Byo dan antek-anteknya itu”

Aku mengangguk, mencermati kata demi kata yang ia tuturkan. Aku makin tak mengerti saja kenapa bisa di sekolah yang terbilang elite ini ada murid dan kasus seperti itu? Apa dunia pendidikan memang sudah bobrok?

“dari tadi aku tak melihat murid perempuan, bahkan suara dari luar pun tidak ada. Ke mana mereka semua?” tanyaku polos.
“kenapa kau tanya hal aneh seperti itu? Di sini kan memang tidak ada perempuan. Sekolah ini khusus laki-laki.”

BLARR

Jadi ini maksud Papa memasukkanku ke sini agar menjadi kuat? Sekolah khusus laki-laki? Kenapa harus sekolah macam ini? Pantas saja tadi anak aneh itu bertanya soal murid perempuan. Oh, Papa~
“kenapa? Apa kau tidak tau?.” aku tersenyum sedikit “yah begitulah”

Satu jam pelajaran terakhir kuhabiskan untuk mencatat semua pelajaran yang diberikan tadi. Cuma perasaanku atau apa ya, udaranya tiba-tiba menjadi dingin. Angin dari arah luar masuk ke kelas dengan cepatnya. Kulihat ke luar jendela dan ternyata langit berwarna gelap serta sambaran beberapa kilat yang menyilaukan.

Bagus, apa Papa bisa menjemputku kalau hujannya lebat begini? Hari pertama sekolah yang kurang menyenangkan.

“hei, kau tidak pulang? Sudah bel tuh” kehadiran Shou mengagetkanku. Karena terlalu serius aku jadi tak mendengar suara bel pulang “oh, iya. Sebentar lagi. Aku masih harus menunggu Papaku menjemputku”
“aku bawa mobil lho. Kalau kau mau aku bisa mengantarkanmu pulang, dan bilanglah pada Papamu kalau kau akan pulang bersamaku” tawarnya.
 “tapi—“
“ayolah. Lagipula aku juga ingin lebih mengenalmu. Mau ya?” ucapannya seakan tak mampu kutolak. Bagaimana tidak, ekspresinya terlalu melankolis seperti itu. Ditambah wajahnya yang juga tampan.

‘Hiroto, bodoh. Sadar!’

“bagaimana?”
“baiklah. Aku akan menghubungi Papaku dulu”. Kubuka tas yang di dalamnya terdapat ponsel touch screenku dan mencari kontak bernama ‘Dad’ di sana. Tombol call ku klik dan sedetik dua detik, sampai operator menjawab telepon yang sedang kuhubungi ternyata tidak aktif. Aku tak bisa menghubungi Papa.
“kenapa?” kedua alis Shou naik, ia penasaran. Aku menghela napas “nomornya tidak aktif”
“jadi kesimpulannya?” tanyanya lagi, ingin memastikan. “aku ikut denganmu.”

Dia membimbingku dengan mengulurkan tangannya padaku. Apa-apaan dia ini, seperti orang pacaran saja.
Mobil yang ia sebut-sebut tadi ternyata ia parkirkan di parkir guru. Benar-benar nakal. Apa ia tak takut dihukum karena melanggar? Tapi sepertinya ia kebal akan hal itu dan ia juga kelihatan sudah terbiasa.

“naiklah” suruhnya yang sudah membukakan pintu depan mobilnya. Dan aku menurut saja. Cukup duduk manis sampai aku tiba di depan rumah.

Ia sudah duduk di kursi kemudi dan siap menginjak gas. Sebelum ia bertanya, aku lebih dulu mendahuluinya. “blok Haitsu nomor 19.” Senyumnya terlihat jelas di spion depan mobil. Baru kali ini aku lihat orang yang selalu tersenyum, tulus dan err... manis. Jangan kau pikir aku ikut-ikutan menjadi seorang seperti Byo yang dikatakan Shou tadi. Tapi aku rasa, Shou bisa diajak berteman dan sifatnya juga baik. Yah, kurasa.

Perjalanan ke rumah memang bisa kurasakan agak lama, mengingat jarak yang cukup jauh dan selama itu pula kami hanya diam. Tak ada pembicaraan penting yang kami bahas. Dan aku juga tak mau mengganggu konsentrasi berkendaranya ketika sedang hujan lebat seperti ini.

“yang ini kan?” suaranya yang berat mengagetkanku. Saking bosannya aku sampai melamun. “iya benar. Terimakasih atas tumpangannya” ucapku seraya menggendong tasku dan keluar dari mobil.

Namun sebelum keluar, ia menarik pergelangan tanganku dan membuat kepalaku kembali masuk ke mobil.
“apa?” tanyaku bingung. “kapan-kapan aku main ke sini, ya”
“iya, boleh saja. Tapi, tolong lepaskan” pintaku agak risih.
“hahaha,, maaf. Soalnya kau terlalu imut untuk dilepaskan” kalimat yang ia ucapkan tadi, Bicara apa dia ini? Hei, aku ini masih normal!. Buru-buru kulepaskan tanganku darinya. Dan untuk yang kesekian kali ia tersenyum, ditambah tertawa. Shou ini kenapa sih? Seperti orang gila. Suara mobilnya perlahan menghilang dan aku bisa sedikit mengambil nafas lega. Kulihat rumah masih sepi, apa Papa belum pulang?. Jam segini biasanya kan sudah pulang. Lebih baik kutelpon dia lagi saja.

Akhirnya terhubung juga. “moshi moshi, Papa”

“moshi moshi. Kau ada di mana sekarang? Papa dari tadi sudah menunggumu di depan gerbang sekolah”
“gomen ne, Papa. Aku baru saja pulang. Temanku menawariku pulang” ucapku menyesal. “kenapa tidak telepon Papa dulu?” nadanya terdengar kesal, dan aku coba berbicara dengan lembut “aku sudah menelepon Papa, tapi nomor Papa tidak aktif”
“yasudahlah, Papa pulang sekarang”
“ki o tsukete...”

Basah dan kedinginan. Pasti itu yang Papa rasakan sekarang. Nekat tak membawa payung atau memakai jas hujan waktu mau menjemputku tadi. Ia duduk di sofa sambil mengeringkan rambut hitamnya.
“ini” aku menyerahkan secangkir coklat panas buatanku padanya dan duduk tepat di sebelahnya. Ia mengalungkan handuk kecil itu di lehernya dan mulai menyeruput coklatnya.
“bagaimana? Enak?” tanyaku ragu. Ia menoleh “cukup enak”

 Aku melingkarkan kedua lenganku di pinggangnya, seraya menyandarkan kepalaku di pundak tegapnya. Oh, hangat sekali walau ku yakin ia pasti tak merasa begitu.
“kenapa manja begini?.” Makin kueratkan pelukanku “Papa tidak marah kan aku pulang dengan orang lain?”. Ia mendengus, bisa kurasakan karena begitu dekat jaraknya. “memangnya siapa orang beruntung yang bisa mengajakmu pulang ke rumah?”

“ha? Beruntung? Dia hanya teman baruku. Tidak ada yang spesial. Lagipula dia itu laki-laki Papa. Dan Papa sengaja kan memasukkanku ke sekolah itu?!” ucapku memanyunkan bibir. “iya, maafkan Papa. Lalu kalau laki-laki kenapa? Tidak ada yang salah kan?”

Refleks aku kembali ke posisiku semula, menghadap ke Papa seutuhnya dan menatap matanya lekat-lekat. “maksud Papa apa?”
“tidak. Memangnya kau berpikiran apa?” lanjutnya. “tapi, aku merasa ada yang aneh.”
“kenapa?”

Cukup sulit mengatakannya, aku takut nanti Papa menertawakanku “tadi sebelum pulang, ia menyebutku ‘imut’. Bukankah itu hal yang aneh?.” Kulihat Papa seperti menahan tertawa. Langsung saja aku memukul pundaknya.

“maaf maaf. Apa benar dia menyebutmu seperti itu?”
“ya begitulah.” Papa kembali tersenyum “itu kan memang benar. Kalau ia bilang kau tidak imut, itu baru namanya aneh”
“tapi dia itu kan laki-laki. Masa’ laki-laki menyebut laki-laki lain dengan sebutan imut, itu menggelikan Papa!” ucapku kesal karena respon Papa sama sekali tak mendukungku.
“mungkin dia hanya bercanda. Jangan di ambil hati, Hiropon”
“tapi di sekolah ada yankee gay, Papa! Aku takut.”
Papa tersedak coklat yang baru saja ia minum “apa itu benar?”. Tubuhku mendadak lemas, dan menundukkan kepalaku sambil megangguk pelan.
“mulai sekarang kau harus belajar menjadi kuat. Kau harus melawannya karena kau ini laki-laki” ucapnya seraya mengusap puncak kepalaku lembut.

“akan kucoba.”
***
Ini sudah hari ketiga aku menginjakkan kakiku di sekolah ini. Masih dengan suasana yang sama, Shou selalu mengajakku ke kantin tiap istirahat tiba. Saga juga masih tetap diam sejak pertama kami bertemu. Hanya anggukan dan gelengaan ketika aku berusaha mengajaknya bicara. Lebih seperti orang bisu. Untuk teman-teman yang lain masih juga sama. Tak ada yang istimewa.

Jam istirahat kugunakan untuk berjalan-jalan ke setiap sudut sekolah. Tanpa ada Shou menemani. Aku ingin mencoba suruhan Papa untuk menjadi berani.

Sampai langkahku terhenti di depan ruang kelas II F.

Tak ada yang aneh. Beberapa murid di sana masih di dalam kelas dan tidak ada yang berlalu lalang di luar. Aku jadi teringat ucapan Shou tentang Byo itu. Katanya Byo ada di kelas ini. Tapi bagaimana aku tau, melihat tampangnya saja belum pernah.

Pelan-pelan aku pergi dari situ. Baru beberapa langkah, aku terhenti karena mendengar seseorang seperti memanggilku. Dengan menyebut nama ‘bocah’.

Aku menoleh dan mataku menangkap sekelompok murid berpakaian yang agak berantakan dengan seorang yang kelihatannya pemimpin itu berdiri paling depan. Kuharap perkiraanku salah. Kumohon dia bukanlah Byo yang dimaksud itu.

“hei, bocah. Aku tak pernah melihatmu di sini. Anak baru ya?” ucapnya menghampiriku dan terdengar sangat... menjijikkan. Risih sekali berada di dekatnya “i..ii..iya”

“mangsa baru”

DEG

Walau suaranya pelan, aku bisa mendengar apa yang ia ucapkan barusan. ‘mangsa baru?’, oh tidak! Ketakutanku akhirnya terjadi. Tanpa bisa melawan, mulutku dibekap dan tubuhku diseret ke kelas mereka oleh beberapa orang yang sepertinya itu adalah anak buah Byo. Bunyi pintu terkunci menambah ketakutanku. Ya Tuhan, apa yang ingin ia lakukan padaku. Papa, tolong aku.

Mataku terpejam dan sudah menitikan air mata. Menahan kedua tangan dan kakiku yang terus dikekang mereka. Hidupku selesai sampai di sini.

Nyaris putus asa, aku mendengar suara pintu dibuka secara paksa oleh seseorang. Aku tak sanggup melihat, mengingat semua orang di sini sangat menyeramkan. Tak tau apa yang terjadi, aku hanya bisa mendengar suara perkelahian dan beberapa benda berjatuhan. Umpatan-umpatan yang terlontar semakin membuatku yakin kalau di sini sedang terjadi perkelahian, tapi siapa dan untuk apa?

Masih dalam keadaan lemas dengan kancing seragam setengah terbuka, tubuhku digoncang seseorang hingga akhirnya aku terpaksa membuka mataku. Samar-samar terlihat, rambut coklat susu dan mata yang bulat besar. Orang ini, seperti... Shou.

“Hiroto bangun!” serunya mencoba membangunkanku. Kubuka mataku seutuhnya, dan orang ini benar-benar Shou. Oh Tuhan, terimakasih..

“Shou, aku— hiks..hiks.. aku takut” segera aku memeluknya, membenamkan kepalaku di dadanya dan menangis sepuasnya di situ. Ia mengusap punggung dan kepalaku. Aku merasakan kehangatan, dan nyaman berada di sisinya. Sama seperti perlakuan Papa padaku. “tenanglah, semua sudah baik-baik saja”
“aku... mau pulang”
“akan kuantar.”. Cukup mengangguk, ia melepas pelukanku dan mengusap air mataku. Dia juga merapikan seragamku yang sudah berantakan, dan ia pun menggandengku keluar dari kelas ‘sialan’ ini. Aku bersyukur, kalau tidak ada Shou, entah bagaimana nasibku nanti.

Untuk yang kedua kalinya aku pulang bersama Shou. Ia sudah mengijinkanku agar bisa tidak masuk pelajaran hari ini. Dia membawaku lagi dengan mobilnya. Memarkirkannya di samping rumah yang sebelumnya ia buka gerbangnya sendiri dengan kunci yang kuberikan padanya. Ia memapahku ke dalam rumah seperti sedang membawa korban kecelakaan lalu lintas yang tak berdaya. Tubuhku perlahan ia baringkan di sofa dan dengan telatennya ia membuka sepatuku.

“kau tidak apa-apa, Hiroto?” ucapnya terdengar ditelingaku sangat khawatir. Badanku menggigil tak karuan sambil meremas telapak tanganku “aku...takut..”
Shou meraih tanganku yang sedari tadi kuremas dan menangkupnya. Awalnya aku kaget, tapi ia memberi isyarat bahwa aku kali ini harus menurut padanya “tenang saja. Selama ada aku, kau pasti aman. Percayalah”

“Shou—“
“hmm?”
“tolong temani aku di sini, sampai Papa pulang”

Ia melepas genggaman tangannya yang menggenggamku, namun kini ia malah berjongkok padaku. Ia tepat berada di samping wajahku yang sedang terbaring. Kulihat senyumnya makin mengembang “aku akan selalu menemanimu di sini”

Aku tersenyum dibuatnya, ucapannya seperti seorang Papa kepada anaknya. Terutama saat dia mulai menceritakan semua kejadian-kejadian yang pernah terjadi di sekolah. Seperti tak ada yang perlu ditutup-tutupi. Tentang Saga juga, dan ‘korban-korban’ Byo itu.

“Hiroto—“ celetuknya. “apa?”
“apa kau percaya kalau sesuatu yang sangat terlarang, bisa terjadi kapanpun juga?”
Alisku terangkat sebelah “maksudnya?.” Shou kemudian menuntunku untuk duduk sejajar dengannya, dan aku mengikutinya. “aku ingin kau tau sesuatu”
Nampaknya serius sekali ia bicara seperti itu. “ada apa, Shou?”

“kau mau berjanji padaku, tak akan marah jika aku mengucapkan ini...” Aku mengangguk.
Shou menutup matanya sambil menghirup napas dalam dan berkata “aku... suka kamu”
Saat itu juga pikiranku langsung mengingat Byo. Jadi selama ini Shou sama seperti makhluk binal itu. Kepalaku rasanya benar-benar pusing—

“apa kau jujur Shou?”, ia mengangguk
“kau menyukaiku? Atas dasar apa?”
“kau baik, manis, dan kalau kau didekatku, rasanya aku ingin selalu melindungimu.”

Pandanganku sayu dan berucap lirih “entahlah apa yang Papaku lakukan jika mengetahui anak laki-lakinya menjalin hubungan khsusus dengan seorang laki-laki”

Shou langsung menggeser jauh sedikit duduknya dariku. “aku tau kau normal, sedangkan aku tidak”
“kau berhak mencintai siapapun, termasuk aku. Tapi aku tak akan memberi harapan kosong padamu jika aku sendiri tidak mampu memenuhinya” ucapku pelan, berharap Shou mau mengerti.
“pelan-pelan kau pasti bisa merubah itu. Dan kumohon, kau jangan memusuhiku hanya karena ini. Aku ingin kita bersahabat, tidak lebih” kugenggam tangannya erat, aku bisa merasakan tangannya yang tadi dingin menjadi menghangat.

Ia menoleh pandang ke arahku dengan senyum yang bukan miliknya, senyum kecut dan dipaksakan “akan kucoba—“
“aku senang bisa berkenalan denganmu. Dan sekarang, apa kau mau berjanji padaku?”

Pancaran matanya seperti menyiratkan sebuah harapan “apa itu?”
“berjanjilah padaku, kau akan berubah. Namun tetap menjadi pribadi Shou yang baik, menolong temannya yang kesusahan, dan selalu tersenyum walau hatinya sakit” bibirku bergetar mengucapkannya, serasa aku yang berada di posisi Shou kini.

“aku juga berharap demikian.”
***
Saat-saat senggang. Papa sedang menonton tv di ruang tengah. Beberapa kali ia sibuk menggonta-ganti channel dan akhirnya berakhir di satu acara stasiun tv. Aku mendekatinya dan merapatkan diri di sampingnya. Awalnya ia kaget dengan tindakanku yang tidak biasa ini, tapi ia perlahan menyamankanku di sisinya.

“Papa, aku ingin bicara”
“apa?”

“takdir itu apakah benar bisa berubah?”
Papa pun menatapku dengan tatapan seperti bertanya –kenapa-kau-tanya-hal-itu-?-
“kalau kau percaya takdir itu bisa berubah, kenapa harus bertanya? Seperti takdir yang membawa Papa dan Hiropon untuk hidup hanya berdua. Walau sekeras apapun Papa coba mempertahankan ibumu, tapi tetap saja tidak bisa. Takdir, semua Tuhan yang menentukan” ucap Papa bijak. Aku bisa melihat sorot matanya yang tegar, dan aku tau di balik senyumnya tersimpan rasa sakit hati luar biasa ketika seseorang yang ia yakini adalah takdirnya untuk bersama, kini telah meninggalkannya beserta seorang anak laki-laki yang tak tahu menahu soal itu.

“aku sayang Papa”

Senyumnya kembali terkembang “Papa juga menyayangimu”

Kupeluknya erat, menenggelamkan kepalaku di dadanya. Dan kehangatan inilah yang selalu membuatku terus menyayangi Papa. Selalu, karena ku sangat menyayanginya lebih dari apapun.


Owari


n.b: tuhkan,,, tolong jangan bully saya karena ff jelek ini u,u