Saturday, April 19, 2014

Fanfic For the Rest of My Life [KazukiXManabu]



Title: For the Rest of My Life
Author: Eri Tonooka
Pairings: KazukiXManabu
Chapter: 1/1 –OneShot-
Genre: Sho-ai, Angst, Drama, Family
A/N: untuk pertama kalinya saya repost dari fb (link) karena ada yang mau ff KazuMana buatan ane wkwkwk :D


For the Rest of My Life
Versailles – Remember Forever



Hidup seseorang hanya Tuhan yang tahu, selebihnya kita hanya menjaga dan selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Nya kepada kita. Jika Tuhan sudah berkehendak, siapapun tak akan ada yang bisa mengubahnya.. Tidak ada.

Karena keputusan Tuhan lah, pemuda brunette yang sedang menunggu bus pulang bersama seorang temannya itu menjadi seperti sekarang ini. Sekilas ia nampak seperti pemuda biasa dengan tubuh yang masih lengkap. Namun jika diperhatikan, nampak sebuah benda tergeletak di sampingnya yang mungkin tak asing bagi siapapun yang melihat. Dua buah tongkat yang digunakan bagi penderita cacat kaki dan sejenisnya. Bersama seorang temannya, pemuda brunette itu masih sabar menunggu bus terakhir yang akan tiba sekitar sepuluh menit lagi.

 “Mana-chan, makanlah ini..” ucap teman si pemuda brunette itu sambil menyerahkan sebungkus roti dari dalam tasnya. Pemuda brunette yang disapa Mana-chan-atau dengan nama asli Manabu- itu menerimanya, namun tak langsung memakannya.
“kau sendiri tidak makan, Kazu-kun?”

Kazuki, si pemberi roti itu menyunggingkan senyumnya yang hangat. “aku tidak lapar. Karena aku tau Mana-chan sedari tadi belum makan, jadi itu untukmu saja” jawabnya lalu membenarkan coat yang dikenakan Manabu. Ya, hari ini masih terasa suasana musim dingin dan jangan heran mereka memakai baju berlapis-lapis.

Manabu membuka bungkus roti itu dan mengeluarkannya. Lagi-lagi ia tak langsung memakannya, ia pun membelah roti itu menjadi dua. “ini untukmu..” Manabu memberikan potongan setengahnya kepada Kazuki.
Kazuki kembali tersenyum melihat adik angkatnya itu. Manabu memang bukanlah adik kandung maupun teman Kazuki, mereka bertemu pun karena suatu kejadian yang tak terduga. Tiga tahun lalu, ayah Manabu mengalami kecelakaan mobil saat akan bekerja dan menewaskannya di tempat. Ibu Manabu yang shock tak bisa menerima kejadian itu, dan terhitung lima bulan kemudian Ibu Manabu meninggal karena bunuh diri. Di saat itulah Manabu melihat langsung mayat ibunya tergantung di dapur dan itulah penyebab psikis Manabu menjadi seperti sekarang ini. Manabu pun sudah tidak punya orang tua lagi, namun seorang tetangga keluarga mereka merasa bersimpati dan akhirnya membawa Manabu ke rumahnya, menjadikan Manabu sebagai anak angkatnya.

Bus yang mereka tunggu-tunggu pun akhirnya datang, segera Kazuki beranjak lebih dulu dan membantu Manabu untuk berdiri. Kaki kiri Manabu menjadi patah karena ia ditabrak lari oleh seseorang pengendara mobil dua bulan lalu. Dengan agak sulit Manabu berdiri dan Kazuki bantu memapahnya sampai ke dalam bus.
                                                                       ***

“tadaima..”

Ucapan salam Kazuki dan Manabu tidak ada yang menjawab dari dalam rumah. Kazuki tak keberatan membantu Manabu melepas sepatunya seperti biasa. Mereka masuk ke ruang tamu dan melihat Ibu Kazuki sedang tertidur dengan kepala tergeletak di meja penghangat. Di sebelahnya ada beberapa kertas yang berserakan. Kazuki ingin tahu kertas apa itu, segeranya ia membaca sebuah kertas bertabel di sana.
Catatan biaya rumah sakit.

Sedih Kazuki melihatnya. Ayah dan Ibunya padahal sudah bekerja keras demi keluarga, tapi catatan tanggungan biaya Manabu itu membuat Kazuki sarkatis.

“Kazu-kun, itu apa?” Manabu juga ingin tahu. “bukan apa-apa, Mana-chan mau mandi? Airnya akan kusiapkan” elak Kazuki. Bagaimana mungkin ia tega memberitahu hal ini pada adiknya? Satu hal yang akan terjadi adalah, Manabu akan merasa menjadi beban bagi keluarga Kazuki dan akhirnya Manabu akan mengganti biayanya entah dengan cara apa.

Tentu saja Kazuki tak akan memberitahunya.

Manabu mengangguk kecil. Tubuhnya sudah ingin dibasahi air hangat dan menghilangkan lelah setelah seharian ini. Kazuki membantu Manabu menuju kamar mandi, menyiapkan air dan membawakan pakaian untuknya.
Sementara Manabu mandi, Kazuki kembali ke ruang tamu dan membangunkan Ibunya.
“Ibu..” panggilnya pelan.

Sang Ibu terbangun, terlihat sedikit keterkejutan di wajah separuh bayanya. “Kazuki? Kamu dari tadi? Manabu ?” berbagai macam pertanyaan terlontar. Kazuki mengangguk “Mana-chan sedang mandi, sebaiknya ini jangan sampai terlihat olehnya.” Kazuki melirik kertas yang masih terbengkalai itu di atas meja.

Ibu Kazuki kaget dan buru-buru menyimpuni semua kertas itu menjadi satu. Menaruhnya di laci terdekat yang ia klaim sebagai tempat yang tidak bisa dijangkau Manabu. “bagaimana kalau Kazuki juga ikut membantu?” Kazuki menawarkan diri, dan segera mendapat respon tidak setuju dari sang Ibu.

“kau tidak perlu melakukannya. Manabu tanggung jawab Ayah dan Ibu, begitu halnya denganmu.”
“jika seandainya Kazuki mendapat pekerjaan, apa Ibu setuju?”
“tapi tidak sekarang. Kau masih sekolah, dan kau juga yang menjaga Manabu selama di sekolah” tegas sang Ibu.
“Kazuki mengerti”

Bukan Kazuki namanya jika ia tak bisa mengerjakan apa yang ingin ia lakukan. Selama itu baik dan bermanfaat bagi orang lain, ia akan melakukannya. Terlebih lagi ini untuk Manabu. Adik angkat kesayangan sekaligus cintanya.

Kamar yang tak terlalu besar, dengan dua futon yang terhampar di lantai. Masing-masingnya sudah terisi oleh dua anak manusia yang akan pergi tidur. Cahaya lampu sengaja dipadamkan, membuat pantulan cahaya bulan bisa dengan bebas masuk ke kamar mereka melalui jendela.

Ada beberapa hal yang membuat mereka tak segera menutup matanya. Kazuki masih teringat akan kata Ibunya, bahwa dia tak perlu membanting tulang juga demi membayar lunas biaya perawatan Manabu di rumah sakit. Masih terngiang jelas di telinganya, kalau ialah yang bertugas menjaga Manabu di sekolah.

“Kazu-kun belum tidur?” tanya Manabu tiba-tiba. Membuat Kazuki sedikit terkejut dan kemudian membalikkan badannya menghadap Manabu. Kazuki bisa melihat bentuk hidung Manabu yang lancip dan beberapa helai poni yang menutupi keningnya. Pemandangan yang tak ingin Kazuki lewatkan. Manabu terlalu manis.

“Mana-chan sendiri juga belum tidur?”
“aku tak bisa tidur..”
Kazuki tersenyum samar, ia segera bangkit dan menggeser futon miliknya lebih dekat dengan Manabu. Ia kembali berbaring, namun dengan lengan kiri yang ia buka sebagai tempat untuk Manabu membaringkan kepalanya. Manabu menyambutnya dengan menjadikan lengan kiri Kazuki sebagai bantal.
“tidurlah. Hari baik menunggu kita besok..” ucap Kazuki sambil mengusap lembut lengan Manabu.
“Oyasumi”

Dan kelopak mata mereka pun menutup bersamaan.
                                                                               ***

Ada yang berbeda dari Kazuki hari ini. Kazuki hanya mengantar Manabu pulang sampai rumah, setelah itu ia pergi lagi entah kemana. Manabu sendiri hanya mendapat jawaban dari Kazuki kalau ia akan pergi ke rumah Jin. Tidak ada alasan spesifik yang bisa membuat Manabu tenang membiarkan Kazuki pergi hari ini. Tapi Manabu juga tak bisa mencegah Kazuki pergi, mungkin ada sesuatu yang penting, pikirnya.

Nyatanya Kazuki berbohong. Ia tidak sedang pergi menemui Jin, ia justru mengunjungi tempat yang ramai penuh dengan laki-laki berkostum pelayan. Bukan pelayan biasa, mereka dikenal sebagai butler cosplay. Suatu kesempatan Kazuki bisa bekerja di sana. Kazuki bisa saja mendapat pekerjaan itu hanya dengan modal wajahnya yang tampan.

Ia memasuki cafe itu dan segera bertemu dengan sang pemilik. Tak perlu waktu lama untuk menerima Kazuki, sang pemilik itu langsung menjadikan Kazuki sebagai butler di posisi utama. Ia yakin dengan adanya Kazuki di cafenya, maka banyak pelanggan wanita yang akan berkunjung.

Satu set pakaian butler lengkap yang masih baru dan rapi sangat cocok dikenakan Kazuki. Ditambah pelayanannya yang ramah, Kazuki dengan cepat disukai pelanggan. Pekerjaan yang tidak begitu sulit pikir Kazuki, walaupun jam kerjanya yang memakan waktu istirahat sekolahnya. Tapi demi Manabu, ia rela melakukannya. Tak ada yang bisa membuat Kazuki berjuang keras lebih dari ini selain Manabu dan keluarganya.

Sudah terhitung enam jam Kazuki bekerja di cafe. Ia takut saat sesampainya di rumah nanti, ia mendapat banyak pertanyaan dari Ibunya dan Manabu tentu saja. Dengan langkah yang cepat, Kazuki menyusuri kota Tokyo di malam hari itu menuju rumahnya.

Setibanya di rumah, Kazuki tak menemukan Ibunya di ruang tamu seperti biasa. Mungkin sudah tidur, pikirnya. Ia bergegas ke kamarnya dan mendapati lampunya masih menyala dengan Manabu yang duduk di kursi belajar.
“Kazu-kun okaeri..” wajah Manabu terlihat sangat senang dan berusaha berdiri dengan kedua tongkatnya. Segera Kazuki membantunya berdiri.

“Mana-chan menungguku?” Kazuki khawatir. Manabu hanya mengangguk kecil.
“aku tak bisa tidur kalau Kazu-kun belum pulang.” Hati Kazuki mencelos saat Manabu berucap seperti itu. Ia semakin menyayangi adiknya ini.
“sekarang tidur, yuk. Mana-chan pasti sudah mengantuk” Kazuki memapah Manabu ke futonnya. Membantu Manabu berbaring dan meletakkan tongkatnya di samping.

“Kazu-kun ngapain aja di rumah Jin-san?” pertanyaan Manabu membuat Kazuki bingung menjawabnya. Hanya mengerjakan tugas? Itu tidak mungkin! Berlatih drum? Sepertinya mungkin.

“belajar drum. Mana-chan pernah lihat Jin bermain drum, kan?”
“iya pernah. Waktu acara ulang tahun sekolah. Dia sangat hebat! Aku juga ingin belajar!” ucap Manabu bersemangat. Tapi tidak dengan respon Kazuki. Ia justru khawatir kebohongannya akan diketahui.

“aku rasa mungkin nanti saja. Manabu harus fokus sekolah dulu, ya”
“baiklah, terserah Kazu-kun saja” Manabu menurut. Sebuah kelegaan terlihat dari wajah Kazuki. Adik angkatnya ini begitu mengerti dan tak pernah membantah semua yang Kazuki perintahkan. Kazuki jadi sering tak bisa menahan pikirannya yang bertolak-belakang. Ia merasa mencintai adik angkatnya itu hal yang salah, tapi Manabu bukanlah adik kandungnya, jadi ia rasa itu hal yang wajar.

Kazuki masih bisa menguasai pikiran dan tindakannya walaupun berada di dekat Manabu serasa nyaris membuat jantungnya lepas. Ia hanya bisa menuangkan rasa cintanya hanya sebatas kasih sayang terhadap adiknya. Tidak lebih.

Hampir empat tahun hidup bersama adik angkatnya tak membuat perasaan cintanya menghilang. Justru ia semakin ingin melindunginya, ia tak bisa membiarkan Manabu dengan kondisinya yang rapuh seperti saat ini.
Teringat saat pertama kali mereka berkenalan sebagai tetangga, sekitar awal musim gugur di tahun pertama sekolah menengah pertama. Sebelumnya mereka masih tak saling menyapa karena Manabu yang selalu masuk ke dalam rumah ketika ia bertemu Kazuki di depan rumahnya. Kazuki juga tak mengerti waktu itu. Ketakutan Manabu untuk tidak mau berkenalan dengan Kazuki pun sudah berlangsung selama hampir setahun. Akhirnya Kazuki memutuskan berkunjung ke rumah Manabu untuk memberi kue muffin-buatan ibunya- sebagai tanda perkenalan.

Kazuki sangat tidak sabar ingin berkenalan dengan Manabu. Ia ingin bermain dengan anak itu, karena selama ini Kazuki jarang bermain dengan anak-anak seusianya di kompleknya. Kazuki pun memencet bel rumah Manabu. Dan tak lama kemudian pintu pun terbuka.

“hai~” sapa Kazuki ramah. Kedua tangannya sibuk memegang bingkisan kue di depannya. Namun raut wajah si pembuka pintu-Manabu- tidak menunjukkan ekspresi ramah sama sekali. Ia justru akan menutup kembali pintunya.

“chotto matte!!” “cegah Kazuki dan berhasil membuat pintu itu kembali terbuka.
“mau apa kau?” tanya Manabu ketus. Kazuki berusaha bersabar.
“aku ingin berkenalan denganmu. Ini sebagai tanda perkenalan. Namaku Kazuki” Kazuki tersenyum hangat sembari menyerahkan kue muffin itu ke arah Manabu. Manabu menerimanya dengan sedikit kikuk. Ia tak pernah mendapat perlakuan seperti ini dari orang lain. Dan sekarang ia bingung harus bagaimana membalasnya. “..ah, terima kasih. Namaku Manabu”

Kazuki kembali tersenyum melihat ekspresi Manabu yang sedikit malu dan terlihat warna tipis kemerahan di pipinya. Kazuki yakin ia pasti bisa bermain dengan anak ini.

“yosh, Mana-kun. Aku permisi dulu, kapan-kapan kita main bersama ya~”
                                                                      ***

“Kazu-kun”
Tubuh Kazuki menggeliat seakan tidurnya yang kurang itu terganggu. Matanya sangat berat untuk terbuka. Namun panggilan untuknya kembali terdengar lebih jelas.
“Kazu-kun, bangun..”

Kazuki menyadari siapa yang memanggilnya barusan. Manabu bermaksud membangunkannya agar pagi ini mereka tak terlambat pergi ke sekolah. Kazuki pun bangun dan memulihkan seluruh kesadarannya. Ia melihat Manabu di sampingnya masih mengenakan piyama. Tugas Kazuki setelah ini adalah mengantarkan Manabu ke kamar mandi dan membantunya untuk mandi.

Kazuki selalu mendahulukan kepentingan Manabu dibanding dirinya. Karena Manabu tak bisa melakukan hal banyak tanpa bantuan Kazuki di saat kondisinya seperti ini. Kazuki sama sekali tak keberatan dan mempermasalahkan itu semua.

Selama ia masih bisa melakukannya, kenapa tidak?
                                                                                 ***

Tak terasa sudah sebulan aku bekerja part time di cafe itu. Ini saatnya aku mendapatkan gaji pertamaku. Uang penghasilan yang akan kuberikan semua untuk penambahan biaya rumah sakit Manabu. Aku tak sabar ingin segera pulang ke rumah, menemui Ibu dan menyerahkan uang ini.

“Ibu.. Mana-chan.. aku pulang”

Sepi. Ibu ke mana? Tak biasanya jam segini tidak ada di rumah. Kutengok seisi rumah, dan saat mengecek di dapur, kutemukan secarik kertas catatan tertempel di pintu lemari es. Dari Ibu.

Ibu pergi ke rumah paman Kojima, istrinya sedang sakit.
mungkin Ibu akan pulang malam.
dan di panci ada sup, kalau lapar hangatkan saja.

-Ibu-

Bibi Rui sakit? Sekarang Ibu sedang tidak ada, Ayah juga masih bekerja. Itu artinya hanya ada aku dan Manabu sampai nanti malam. Sebaiknya kusimpan uang ini di kamar Ibu. Bila ketahuan Manabu bisa bahaya.

“Mana-chan? Aku pulang” begitu kubuka pintu geser kamarku, kutemukan Manabu tergeletak di lantai dengan nafas terengah-engah.

“MANA-CHAN!!! Kau kenapa ????!!” tanyaku panik. Aku bersimpuh dan menopang tubuhnya agar dapat bertahan. Nafasnya masih tersengal-sengal dan wajahnya berkeringat banyak. Kepegang pipinya dan terasa panas sekali. Dia demam!

“bertahanlah sebentar, aku ambilkan obat di bawah!” Secepat yang kubisa, kuturuni tangga dengan berlari. Mengambil obat penurun panas di kotak obat. Tak lupa air dingin dan handuk untuk mengurangi suhu panasnya.
Kuangkat tubuh kecilnya ke atas futon dan menyelimutinya. Keningnya yang tertutup poni kusibak ke samping untuk kuletakkan handuk dingin di sana. Wajahnya pucat sekali. Aku khawatir dia sedang tidak demam biasa.

“Mana-chan, minumlah ini” kuambil satu tablet obat penurun panas dari tempatnya. Kucoba Manabu untuk tidak memuntahkannya, karena ia paling tidak suka obat jenis ini.
“uhuk..uhuk..”
“angkat lenganmu sedikit” kuletakkan termometer itu di ketiaknya hingga beberapa saat. Dan suhu badannya memang sangat tinggi.

“Mana-chan, kita ke dokter ya. Aku takut obatnya tak bekerja.”
“tidak perlu..uhuk.. Kazu-kun..” Watak keras kepalanya sampai sekarang masih belum hilang, padahal ia sedang sakit sekarang. Suaranya menjadi serak dan aneh, ditambah hanya setengah matanya saja yang terbuka saat menatapku.

“Jangan-jangan Mana-chan belum makan?” Manabu mengangguk pelan. Hanya gerakan terbatas itu yang dapat ia lakukan. “aku buatkan bubur sebentar. Mana-chan berbaring saja, tapi jangan tidur.” Saat aku akan bangkit, pergerakanku terhenti saat Manabu menarik tanganku kembali. “jangan pergi.uhuk..”
“tunggu sebentar saja. Aku ingin Mana-chan sembuh.” Perlahan genggaman tangannya melonggar, ia menatapku sayu seperti tak mau aku tinggalkan. “cepat kembali..” pintanya sebelum aku menuju dapur dan memasakkan bubur untuknya.

Entah aku merasa ada yang mengganjal saat Manabu tak ingin aku tinggalkan tadi. Pancaran matanya jauh lebih menyedihkan, aku jadi tak tega melihatnya. Manabu tak pernah bersikap seperti ini saat ia sakit demam sebelum-sebelumnya. Ia justru tidak ingin aku kerepotan karenanya. Tapi tadi? Saat tangannya menyentuhku, rasanya dingin. Ia seperti ingin bertukar suhu tubuh padaku. Ah, berpikir apa aku ini? tentu saja Manabu akan baik-baik saja. Selama ia menurut untuk minum obat dan makan bubur ini.

Ya, bubur ala Kazuki akhirnya selesai! Kutuang beberapa sendok ke dalam mangkuk kesayangan Manabu. Aku harap dengan begini bisa menjadi sugesti untuk kesembuhannya.

“Mana-chan, makan dulu ya. Setelah ini baru boleh tidur” dan sebagai kakak yang baik, aku yang akan menyuapinya. Menunggu makanan yang masuk ke mulutnya habis tertelan dan kembali menyuapinya memang perlu kesabaran. Tapi itu semua tak berlaku padaku, menunggunya seperti itu menjadi momen penting saat kulihat garis wajahnya yang terbilang cantik. Bibir kecilnya yang pucat perlahan mulai memerah. Manis sekali. Ditambah lagi dengan iris mata coklatnya yang mampu menenangkanku sesaat. Aku rasa aku tak butuh apapun lagi di dunia ini selain kehadiran Manabu di sisiku.

“sudah..”
“eh? Sudah cukup?” Manabu mengangguk. Ia menyudahi makannya yang masih menyisakan beberapa sendok lagi jika ia mau memakannya.

“Kazu-kun, bisa temani aku sampai tertidur?” sungguh Manabu, aku tak akan menolak apapun yang kau minta.
“baiklah. Sekarang tidur ya..” ucapku tersenyum. Aku hanya bisa membelai puncak kepalanya dan membiarkannya tertidur hingga demamnya sembuh.

Sesuai permintaannya, aku menemaninya tidur dengan berjaga di sampingnya. Mengganti handuk yang ada di keningnya jika sudah mulai panas dengan yang baru. Sesekali ku cek suhu tubuhnya dengan termometer. Hingga kurasakan tubuhku juga mulai kelelahan sedari pagi tadi. Aku pun ikut tertidur di sisinya.
                                                                            ***

Samar kurasakan indera penciumanku menangkap bau seperti asap. Aneh, di dalam rumah muncul bau asap hasil pembakaran sesuatu. Tapi, semakin lama baunya semakin membuatku sesak. Aku terbangun sepenuhnya dan melihat ruangan kamar kami menjadi penuh asap. Segera kubangunkan Manabu.

“Mana-chan bangun!”
“uhuk.. Kazu-kun.. ada asap.. uhuk..” Manabu terbatuk setiap kali ia mengambil nafas yang sudah teracuni asap sialan ini. Dari mana asap ini berasal?
“aku akan turun mengecek dapur. Aku segera kembali.” Sebelumnya jendela kamar kubuka lebar-lebar agar asapnya dapat keluar.

Aku bergegas ke dapur dan kakiku lemas seketika. Api sudah mulai membakar sebagian dapur rumah. Buru-buru kuambil air sebanyak-banyaknya dari kamar mandi. Kenapa bisa begini?!

Sial! Aku baru sadar jika aku belum sempat mematikan kompor setelah memasak bubur tadi. Apa yang sudah kuperbuat pada rumah ini?

Sebanyak apapun sepertinya percuma menyiramkan air pada api yang sudah berkobar luas ini. Ya Tuhan, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi.. rumah ini sudah tak bisa diselamatkan.

Manabu!!

Sekuat tenaga kuberlari menaiki tangga. Tak peduli api di sekilingku sudah membakar tanganku. Aku harus menyelamatkannya. Manabu, bertahanlah!

“Mana-chan! Syukurlah kau masih baik-baik saja” dengan cepat kupeluk makhluk yang masih terbaring di sana. Dengan terbatuk-batuk ia berusaha menahan nafasnya dari kepulan asap ini. “kita akan keluar. Pegang pundakku yang erat.” Aku berjongkok di depannya dan membiarkan kedua lengannya terkalung di leherku. Kugendong tubuhnya sementara tanganku yang bebas kugunakan untuk membawa tongkat Manabu.

Saat hendak keluar, beberapa potongan kayu yang terbakar jatuh di depanku. Nyaris membuat kami terperangkap di sana.

 “Kazu-kun.. uhuk..aku sudah tidak tahan lagi..uhuk..”
“sedikit lagi Mana-chan, kita akan keluar”
Lagi-lagi, bagian rumah yang terbakar berjatuhan membuatku kewalahan. Rumah ini sudah terbakar sepenuhnya. Tak ada lagi celah untuk kami bisa keluar. Dan di saat inilah aku benar-benar menangis. Aku tak bisa menyelamatkan Manabu.

Ini semua salahku! Aku yang sudah membuatnya seperti ini!

“Kazu-kun, jangan tinggalkan aku” bisiknya di telingaku. “aku ada di sini. Aku tak akan meninggalkanmu sendiri.” kemudian aku terduduk di lantai dengan sekeliling yang sudah terbakar. Tempat ini yang baru kemarin masih kami gunakan sebagai ruang tamu. Aku hanya bisa pasrah menunggu pertolongan datang.

Kutengok Manabu seperti membuka mulutnya hendak berbicara, “jika ini sudah saatnya, aku ingin terus bersamamu.”

DEG

Tanpa aba-aba, aku refleks memeluk Manabu yang saat ini tengah terisak. Kuusap kepalanya lembut dan membenamkan wajahnya di dadaku. Ingin rasanya aku mengungkapkan apa yang selama ini kupendam padanya. Aku mencintaimu Manabu.. tapi, aku takut kau akan menolakku, dan mengakhiri hubungan antar kakak-adik yang sudah kita bangun bersama selama ini..

Tubuhku semakin panas saat kulihat balok kayu di belakangku hampir membakar baju yang kukenakan. Aku tak peduli jika aku mati, yang harus kulindungi adalah Manabu.

“Kazu-kun terima kasih..”
“bertahanlah kumohon.. bantuan akan segera datang..hik” aku tak kuasa menahan air mata yang sedari tadi terus kubendung. Manabu menutup kedua matanya dan kembali berada di pelukanku dengan tenang.

Aku harap Manabu hanya tertidur. Tapi detak jantungnya.... menghilang.

Kuangkat wajahnya yang mulai pucat dan dingin.

Manabu maafkan aku..

 “aku mencintaimu Mana-chan. Sungguh aku sangat mencintaimu... kumohon bangun..hiks..”
Makin kuerat pelukanku. Aku tak ingin kehilanganmu. Kenapa kau meninggalkanku Manabu? Kenapa??!!

KREK

Balok kayu berapi dari atas kembali jatuh, dan aku sama sekali tak bisa menghindar. Yang kulakukan hanya melindungi Manabu dengan punggungku. Sakit dan panas ketika balok kayu itu menghantam tubuh belakangku.

Hingga detik-detik terakhir aku dapat merasakan sisa hidupku yang semakin dekat ini. Aku sudah merelakan semuanya. Aku akan berakhir di sini. Tapi aku bahagia bisa menghabiskan hidupku bersama orang yang sangat kucintai, hingga hembusan nafasku yang terakhir..
                                                                                ***

Upacara pemakaman di keluarga Kazuki berlangsung khidmat di hari mendung itu. Kebakaran hebat yang melanda rumah Kazuki berhasil dipadamkan sebelum meluas ke rumah lainnya. Namun sayang, pemadam kebakaran terlambat menyelamatkan dua penghuni rumah yang terjebak di dalamnya.

Petugas pemadam menemukan keduanya sudah tidak bernyawa dengan posisi Kazuki tengah memeluk erat Manabu. Dengan segera mereka dibawa keluar untuk dievakuasi. Berdasarkan hasil dari rumah sakit, Manabu meninggal karena sesak nafas akibat asap kebakaran, sedangkan Kazuki disebabkan luka bakar yang parah di tubuh bagian belakangnya.

Ayah dan Ibu Kazuki segera datang setelah dihubungi oleh salah satu tetangga. Tangisan mereka pecah saat melihat kedua anaknya meregang nyawa dengan kondisi seperti itu.

Di hari inilah, Kazuki dan Manabu dimakamkan berdampingan. Di bawah tetesan hujan yang mulai berjatuhan. Ibu Kazuki masih belum bisa menerima kenyataan ini. Ia tak butuh payung saat ini, sehingga tangisannya bercampur dengan air hujan yang terus membasahinya. Beberapa kali Ayah Kazuki mengusap lembut pundak istrinya agar lebih tenang. Mereka masih bertahan walaupun semua yang menghadiri pemakaman tadi sudah kembali pulang.

“kita juga harus pulang” ajak Ayah Kazuki pelan. Ia tau emosi istrinya sedang tidak stabil.
“hiks.. tapi Kazuki Manabu..?”
“mereka pasti tenang di sana. Yakinlah itu, sayang.”

Dengan sedikit keberatan hati, Ibu Kazuki pun akhirnya menurut untuk pulang bersama suaminya. Meninggalkan dua anaknya yang sudah terkubur di dalam peti mati. Tanpa mereka ketahui, dua sosok anak mereka melihat apa yang barusan terjadi pada orang tuanya.  Dengan sosok tembus pandang seperti kabut, mereka tersenyum tipis.
Semakin hujan terus turun, sosok mereka pun menghilang. Seiring kebahagiaan yang mereka bawa hingga kematiannya.

Untuk sisa akhir hidupku, aku bahagia karenamu.
-Kazuki-

                                                                            OWARI

No comments:

Post a Comment