Sunday, June 24, 2012

Fanfic Gomen ne (ShouXHiroto)



Title : Gomen ne
Author : Hikari Ogata a.k.a Eri Tonooka
Pair : ShouXHiroto
Genre : Fluff, lil Angst
A/N : Muncul tiba2 ketika menjelang tidur (ini penpic asli bikinan saya!!!). Untuk judulnya memang astul (asal tulis), en saya juga belakangan ini demen banget bikin judul pendek2.



Gomen ne


Sepulang sekolah, rutinitas Shou yakni mengantarkan Hiroto pulang. Tak hanya sepulang sekolah, berangkat sekolah pun Shou selalu menjemputnya. Bahkan ketika sedang pergi liburan, selalu Shou yang mengantarkannya. Ia bahkan lebih dari seorang supir pribadi.

Pukul 15.30, mereka sudah keluar gedung sekolah dan bersiap pulang. Untuk hari ini, Shou tidak segera mengantarkan Hiroto pulang ke rumahnya, melainkan ia ke kedai ramen dulu untuk makan. Berhubung tadi Shou tau kalau di sekolah Hiroto tak sempat makan siang. Jadi ia bela-belain ke kedai hanya untuk menemani Hiroto makan.

Sampai di sana, mereka duduk bersebelahan. Sambil menunggu pesanan, mereka meminum segelas teh hijau dengan diiringi obrolan-obrolan ringan. Sesekali mereka tertawa, dan itulah yang membuat pasangan ini tetap awet bahkan sudah lebih dari lima tahun.

Pesananpun tiba, sebuah ramen ukuran jumbo telah terhidang dengan kepulan asap yang masih menguap. Hiroto sengaja memesan satu karena ia akan makan berdua dengan Shou. Jangan tanya kenapa, karena pasti Hiroto tak akan sanggup makan ramen dengan porsi sebesar itu.

“mau kusuapi?” ucap Shou sambil membunyikan sumpitnya satu sama lain
Hiroto menoleh dan menggeleng “tidak usah, aku bisa makan sendiri”
Mendengar itu, Shou membukakan plastik sumpit di depannya dan memberikannya pada Hiroto. Saat ini ia sudah memasukkan dua suap di mulutnya, namun ia melihat Hiroto sejak tadi tak memakan ramennya.

“kenapa?”
“panas,” ucap Hiroto masih terus berusaha meniup-niup mie yang tergantung di sumpitnya itu. “aku tiupin sini,” segera Shou mengambil sumpit Hiroto dan meniup mie yang ada di situ. Dirasa sudah agak dingin, Shou menyodorkannya di depan Hiroto. “aaaaa~~” Shou serasa menyuapi anak umur dua tahun

Malu-malu Hiroto membuka mulutnya, dan ia akhirnya memakannya juga. Sampai ia sendiri terbawa suasana. Perutnya sudah kenyang karena sedari tadi ia terus saja disuapi oleh Shou.
“gak dihabisin?” tanya Shou yang masih menyumpit mie. “aku kenyang, Shou habisin yah~” pinta Hiroto dengan manja khasnya. Dan Shou pun tak mampu menolak permintaan dari sang kekasih.

Setengah dari ramen yang dimakan Hiroto, kini sudah habis termakan oleh Shou. Selama Shou makan, Hiroto terus saja memperhatikan Shou. Menatapnya sampai Shou jadi salah tingkah. Ini adalah sebagian kebiasaan yang tak akan pernah hilang dari seoraang Hiroto, dan itulah yang membuat Shou tak mau melepas pemuda manis ini barang sedikitpun.

Hiroto yang melihat mangkuk ramennya sudah kosong pun lalu menarik-narik lengan Shou, “pulang, yuk. Udah sore”. Shou tersenyum dan segera mengambil uang di sakunya lalu diberikannya pada penjual ramen di kedai itu. Mereka memakai helm yang sedari tadi terpasang di jok sepeda motor dan bersiap untuk pulang.

Lagi-lagi Shou tak mengantarkan Hiroto pulang, ia malah sengaja membawa Hiroto ke rumahnya dulu. Hiroto yang terheran-heran pun bertanya “kita mau ngapain lagi?”.
“main-main saja dulu di sini, nanti ku antar. Tenang saja” ucap Shou santai sambil berlalu ke kamarnya.

Hiroto hanya bisa duduk di sofa dan mengeluarkan iphone di tasnya. Sedikit ia melirik ke dinding dan melihat sebuah foto keluarga berpigura rumit yang setahunya kemarin tidak ada pajangan foto di situ. Aktifitas ‘bermain’ dengan iphonenya pun terhenti, ia beralih melihat foto itu lekat-lekat. Semua orang yang ada di foto itu mengenakan hakama dan kimono yang terlihat sangat mahal. Dan mata Hiroto terfokus pada sosok yang ia yakini seorang Shou. ‘tampan sekali’ gumamnya. Dengan mengenakan hakama berwarna hitam-putih, Shou berdiri tegap layaknya seorang pejuang di jaman Edo. Ayah dan ibunya juga sangat serasi, ditambah satu kakak perempuannya yang terlihat anggun dengan kimono bercorak ‘satsuki’ disekelilingnya. Jelas sekali di mata Hiroto, kecantikan Shou didapat dari ibu dan kakaknya.

Ia masih memandangi foto itu sampai tak sadar kalau Shou sudah memperhatikannya sejak tadi. “ada yang salah dengan foto itu?”. Hiroto terkesiap dan buru-buru membalikkan badannya ke arah Shou. “tt...tidak ada kok, hehe,”
“duduklah dulu,” ajak Shou dengan dia berjalan duluan di depan Hiroto. Namun ketika melangkahkan beberapa senti, kaki Hiroto tersandung kaki meja yang tepat diatasnya terdapat sebuah guci antik nan mahal. Tak tanggung-tanggung, tangan Hiroto tak sengaja mendorong guci itu dan akkhirnya—


PRAANNGG


Shou menoleh cepat dan mendapati Hiroto jatuh tersungkur memegang dagunya, ditambah guci antik milik kakak Shou hancur berkeping-keping di lantai.

“oh tidak! Jangan guci kak Runa”. Mendadak Shou memucat, ia panik melihat kepingan guci itu sudah berhambur ke sana ke mari. Ia jadi lupa pada Hiroto yang masih meringis kesakitan di sebelahnya.
Shou tidak menghampiri Hiroto, melainkan mengumpulkan semua pecahan guci itu menjadi satu. Hiroto benar-benar takut kalau nanti ia akan dimarahi Shou, terutama kakaknya.

“Shou-kun, mm...maaf,,,” ia menunduk sambil menahan tangisnya. Raut sesalnya tak terlihat Shou yang masih membereskan kepingan guci itu.
“lain kali hati-hati. Oh tidak, bagaimana kalau kak Runa tau ini?! Bisa mati aku!” ucap Shou sedikit membentak dan masih tak menoleh ke arah Hiroto
“aku janji akan menggantinya”
Shou menghela napas “biar kau memecahkan celenganmu pun tak akan cukup!” suaranya makin meninggi, dan ini yang paling ditakutkan Hiroto. Shou benar-benar marah padanya.

“Shou-kun, aku benar-benar minta maaf...aku—“
“sudahlah, tak perlu minta maaf!” potong Shou cepat. “maaf aku tak bisa mengantarmu. Kau bisa pulang sendiri, kan?!” walaupun ia mengucapkan begitu, tapi Hiroto merasa Shou mengucapkannya dengan nada kesal dan seakan tidak mau peduli.

Mata Hiroto menatap lirih, ia mengangguk lemas dan berjalan terhuyung-huyung ke sofa-mengambil tasnya- dan pergi dari rumah Shou tanpa mengucapkan apapun. Hatinya sakit, ia tau ia yang salah tapi itu juga bukan kehendaknya dia. Ini semua hanya kecelakaan, dan yang lebih menyakitkan Shou sama sekali tak peduli dengan keadaan Hiroto setelah terjatuh tadi.

Hiroto pulang ke rumahnya setelah lima belas menit berjalan kaki dari rumah Shou. Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul enam sore. Segera ia melepas pakaiannya dan lekas untuk mandi. Di dalam bathtub ia merendam tubuhnya sampai sebatas bawah hidung. Matanya terpejam namun mengeluarkan butiran-butiran air dari ujungnya. Otaknya serasa terus memutarkan rekaman kejadian tadi walau sebenarnya ia tak ingin mengingatnya. Baru kali ini Hiroto melihat Shou semarah itu padanya, biasanya Shou hanya marah beberapa menit dan di menit berikutnya ia sudah tak marah lagi pada Hiroto.

Tapi kali ini benar-benar beda. Shou mengacuhkannya.
Ia kembali tenggelam dalam suasana ‘berkabung’.

Badannya yang mulai menggigil menyuruhnya untuk segera keluar dari bathtub, memakai baju handuk dan berjalan gontai ke kamarnya. Pikirannya kalut, ia segera mengganti baju dan bergegas tidur.

Selama mencoba untuk tidur, tubuhnya seakan tak mau diajak kompromi. Sebentar-sebentar ia menghadap ke kiri, ke kanan, ke kiri, dan ke kanan lagi. Ia sangat gelisah, dan ia akhirnya memutuskan untuk tetap terjaga.

Kembali teringat soal guci itu, ia pun berdiri dan membuka isi lemari besar di sampingnya. Wajahnya langsung ceria ketika melihat sebuah celengan kucing yang cukup besar tergeletak di pojok lemari rak paling atas.

Ia mengambilnya dan meletakkannya di lantai. Celengan kucing yang terbuat dari keramik itu tak membuatnya berpikir dua kali untuk memecahkannya. Niatnya sudah bulat untuk mengganti kerugian yang ia timbulkan. Walaupun ia tidak yakin kalau uang itu akan cukup.

Sebuah tongkat baseball di ayunkannnya ke arah celengan itu. Dan semuanya bercecer kemana-mana. Senyumnya kembali tergurat, uang yang ia kumpulkan selama dua tahun terakhir ini cukup membuatnya sedikit bernapas lega. Uang sebesar lima belas ribu yen sudah ditangan. Namun ia masih memerlukan uang yang lebih banyak untuk dapat melunasi ‘hutangnya’ itu. ‘Tapi dengan cara apa?!’ jeritnya frustasi.

***

Pukul enam empat lima, Shou sudah bersiap di depan rumah Hiroto untuk menjemputnya seperti biasa. Klakson pun ia bunyikan, namun tak ada tanggapan. Setelah beberapa kali ia memencet klakson yang terdengar sangat berisik itu, pintu rumah Hiroto pun terbuka tapi bukan Hiroto yang keluar, melainkan ibunya.

“oh, Shou? Cari Hiroto?” sang ibu bertanya ramah dan Shou tersenyum mengangguk “pagi-pagi sekali dia sudah berangkat sekolah. Apa dia tak memberitahumu?”
Shou terkejut mendengarnya, ia bahkan tak diberitahu Hiroto kalau ia akan berangkat ke sekolah sendiri “tidak tante. Terimakasih sebelumnya, saya berangkat dulu. Permisi”.

Selama menaiki motor, Shou terus memikirkan Hiroto. Ia menerka-nerka apa jangan-jangan Hiroto merasa bersalah karena kejadian kemarin. ‘tsk. Kau bodoh Shou! Bodoh!’ rutuknya dalam hati

Di dalam kelas Shou mendapati Hiroto tidak lagi duduk di tempat biasanya-di belakang duduk dengan Shou-, melainkan kini justru duduk di depan dengan Nao. Shou mendekatinya yang tengah menulis catatan.

“Hiroto—”
Kegiatan menulisnya ia hentikan dan mendongak pelan. Hiroto tau, itu suara Shou dan ia melihatnya sekilas dan menunduk lagi.
“maafkan aku, Hiroto. Kemarin aku tak bermaksud mengacuhkanmu” sesal Shou
“kau tak perlu minta maaf, karena aku yang salah” ucap Hiroto tanpa memandangi Shou
“kau tidak salah apapun. Itu hanya kecelakaan, dan kuharap kau mau mengerti”
“...”
“duduklah denganku lagi. Aku kesepian tanpamu” bujuknya
“maaf. Aku agak kesulitan duduk di belakang karena mataku buram” ujarnya bohong, dengan begini Shou tak akan memaksanya lagi
“tapi kau janji akan duduk denganku lagi, kan?” harap Shou lagi, sementara Hiroto hanya mengangguk sekenanya.


Semua murid tak terkecuali Shou pun dengan semangatnya untuk pulang ketika bel pulang sudah berdering. Ia kembali ke meja Hiroto di depan dan mengajaknya untuk pulang bersama.
“ayo” ajak Shou tersenyum sambil mengulurkan tangannya
“maaf, aku tidak langsung pulang hari ini” ucap Hiroto yang langsung membuat Shou keheranan. Tak biasanya Hiroto seperti ini, bahkan setiap kali Shou mengajaknya, dengan semangat Hiroto pasti menerimanya senang hati. Tapi kali ini,..
“kau mau ke mana dulu. Nanti aku antar deh” bujuknya lagi
“tidak perlu. Aku bisa ke sana sendiri”
“kau kenapa sih dari tadi? Kau menghindar terus? Aku kan sudah minta maaf” Shou nampak kecewa dengan tingkah laku Hiroto ini.
“maaf, Shou-kun. Aku harus ke sana sekarang. Terimakasih sudah menawariku” Hiroto menggendong tasnya dan pergi dari situ dengan sebelumnya ia memberi senyuman pada Shou
“Hiroto, tunggu—”
ushanya sia-sia saja. Hiroto sudah keburu hilang dari pandangannya.

***

Hari berikutnya, Shou lagi-lagi tak bisa menjemput Hiroto dengan alasan yang sama, Hiroto sudah berangkat lebih dulu darinya. Dan ajakannya untuk mengantar Hiroto pulang pun juga ditolak. Ia jadi merasa kalau Hiroto benar-benar belum memaafkannya.
Sekitar jam sepuluh malam, Shou coba menelepon Hiroto. Namun tidak aktif. Maka ia beralih menelepon ke nomor rumahnya. Shou sudah sangat senang ketika panggilannya diangkat. Tapi,...
“moshi-moshi, koko wa Ogata no Kazoku desu” ucap seorang wanita yang terdengar seperti ibu Hiroto
“moshi-moshi, tante. Ini Shou, Hirotonya ada?” ucapnya sopan
“oh, dia belum pulang Shou. Katanya dia akan menginap di rumah Nao”
Shou pun buru-buru mengucapkan terimakasih dan segera menutup teleponnya. Dan sekarang kini ia beralih menelepon Nao.

“ada apa, Shou?” tanya Nao
“apa Hiroto ada di rumahmu?”
“tidak” ucapnya santai
“haaa?! Barusan ibunya bilang kalau ia akan menginap di rumahmu malam ini” cecar Shou panik
“benarkah? Oh, aku benar-benar tak tau”
Shou mengehala napas “terimakasih—“ dan sambungan terputus.

‘kau benar-benar membuatku cemas, Hiroto’ batin Shou

Sudah hampir seminggu Hiroto memperlakukan Shou seperti itu. Jika setiap kali Shou bertanya, Hiroto hanya menjawabnya dengan kalimat yang nyaris persis ‘maaf’ dan ‘maaf’. Tak ada penjelasan lain yang dapat membuat Shou puas. Ia hampir gila dibuatnya.


Seperti saat jam pelajaran Kaede sensei misalnya, Hiroto tengah dibuat malu seisi ruangan.


“Ogata-san!” seru Kaede sensei yang menghampiri ke meja Hiroto, sementara aku dan yang lainnya menatap takut pada pemandangan itu.

Kulihat Hiroto bersusah payah menggerakkan kepalanya untuk tegak. Aku kasihan padanya, dia sedang tertidur saat jam pelajaran. Ok, itu hal yang mungkin wajar ketika kau sedang kelelahan, tapi ingat, ini pelajaran siapa?! Kaede sensei! Oh, aku saja tak mau mengingat nama guru mengerikan itu.
“ini sudah ketiga kalinya kau tidur pada jam pelajaranku. Sebagai hukumannya, silakan ke koridor dan pikirkan kesalahanmu!”

Dengan wajah lusuhnya, Hiroto terpaksa meninggalkan kelas sampai pelajaran Kaede sensei berakhir.
Apa yang telah kuperbuat padanya?!! Shou baka!

***

Malam itu, ya, Saturday night. Bukan satnite seperti biasa, kali ini Shou tak ditemani Hiroto sang kekasih. Seperti yang kalian tau, seminggu ini Hiroto selalu menghindarinya tanpa alasan yang jelas.
Masih dalam lamunannya, Shou sampai tak mendengar jika bel rumahnya terus berbunyi dari tadi. Merasa tak ada yang membukakan pintu, dengan  malas Shou akhirnya membukanya.

Sangat terkejut memang, Shou seperti tak sadar jika seseorang yang membunyikan bel rumahnya dan orang yang sedang ada dihadapannya ini adalah Hiroto. Ia tak percaya, dan beberapa kali menepuk pipinya sendiri.

“konbanwa, Shou-kun” sapa Hiroto dengan suara imutnya. Dan hal ini menyadarkan Shou kalau ini bukanlah mimpi
“kk..konbanwa.. Hiroto?!”
“maaf sudah membuatmu khawatir belakangan ini” ucapnya menyesal “aku kemari hanya ingin memberikan ini”
Hiroto menyerahkan sebuah amplop coklat panjang yang cukup tebal pada Shou. Dan Shou terlihat agak ragu menerimanya
“ini sebagai ganti rugi guci kak Runa. Aku tau ini sangat tidak cukup, tapi kumohon terimalah permohonan maafku ini. Terutama untuk kak Runa” Hiroto mengucapkannya tanpa berani melihat mata Shou secara langsung.

Shou terdiam dan tersenyum pada anak manis didepannnya kini. Ia bisa merasakan kesungguhan dan kerja keras di dalam diri Hiroto.
“Hiroto—“
“hmm?”
“dari mana kau dapat uang sebanyak ini?”
Hiroto tak cukup berani menjelaskan asal-usul uang itu, ia hanya bilang itu hasil tabungannya saja
“benar begitu?” tanya Shou tak percaya
“maaf. Aku bekerja part time seminggu ini, dan uangnya sudah kuberikan semua”
Shou mengacak-acak rambut Hiroto lembut “kau seharusnya tak perlu melakukan ini”

“kenapa? Apa sia-sia saja karena pasti tak cukup? Oh, seharusnya aku tau itu” kecewanya
“bukan!” sanggah Shou
“lalu?”

“guci yang pecah itu ternyata hanya duplikat saja. Kemarin kak Runa bilang padaku kalau yang asli ada di kamarnya. Jadi sudahlah, ini aku kembalikan” Shou menyerahkan lagi amplop berisi uang itu pada Hiroto, sementara Hiroto menatap Shou dengan tatapan lega bercampur menyesal

“masuklah, di luar dingin”
Hiroto mengangguk


Masalah sudah selesai, dan semua kembali berjalan seperti semula. Mereka berusaha melupakan semua hal yang terjadi tadi.


Tetap menjadi sepasang kekasih yang romantis


Owari

2 comments:

  1. aawwwww lucuuuu X///D
    Mpon ceroboh siiih~ nyan!

    ReplyDelete
    Replies
    1. ahahaha iya..
      arigaTora udah baca, hotaru-san ^^

      Delete