Wednesday, June 20, 2012

Fanfic The Hardest Ruki’s Life (the GazettE)





Title : The Hardest Ruki's Life
Author : Hikari Ogata a.k.a Eri Tonooka
Genre : Angst
A/N : Masa lalu Ruki yang entah kenapa saya selalu nangis kalau denger cerita itu. No pairing yaoi in here. Yosh, this fic normal.



The Hardest Ruki’s Life




 “Ini adalah awal dari perjalanan the GazettE, band di mana Ruki, Reita, Uruha, Aoi, dan Kai berjuang bersama menempuh kuatnya arus perindustrian musik dunia sampai sekarang ini. Menjadi sebuah band berpengaruh di dunia adalah impian mereka, dan itulah bukti nyata sebuah band bernama the GazettE”
***

Tumbuh di keluarga yang keras merupakan penjara bagiku. Aku harus menuruti semua perkataan orang tuaku, walau dalam hati ini berontak. Di rumah, sebisa mungkin aku menjadi anak yang baik, menjadi kebanggan buat orang tuaku. Tapi tidak untuk di luar rumah. Ayah dan ibuku selalu mengajariku untuk bersikap disiplin, maka tak jarang satu atau beberapa pukulan hinggap di tubuhku kalau aku melanggar mereka. Mereka tak ada bedanya, ayah dan ibuku sama-sama kaku dan cenderung mementingkan egonya sendiri. Dalam hati kecilku ini aku merasa mereka melakukan itu semua untuk kebaikanku juga. Walau bagaimanapun kerasnya mereka mendidikku, mereka tetaplah orang tuaku dan aku sangat menyayanginya.

Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara, dengan kakak sembilan tahun lebih tua dariku. Waktu aku kelas empat SD, aku sering melihat kakakku mendengarkan lagu-lagu rock dan kuketahui ia menyukai band bernama X JAPAN. Kulihat ia begitu menikmati saat mendengar lagu-lagu itu dari CD. Keinginanku makin besar untuk bisa mendengarkannya juga. Sampai aku diam-diam menyelinap masuk ke kamar kakak dan mencoba mendengarkannya, ibuku mengetahuinya. Secepatnya ia merebut CD itu dan membawaku keluar dari kamar kakak. Di luar ia memarahi dan memukulku, walau aku sudah bilang ‘ampun’ padanya. Ketika aku bertanya kepada mereka kenapa aku tak boleh mendengarkan musik yang kakakku suka, mereka menjawab karena CD X JAPAN yang kakakku punya adalah VANISHING VISION, di mana covernya yang bergambar sangat erotis. Tak cukup sampai situ, berniat untuk mendengarkannya lagi, tapi aku malah menemukan sebuah laci yang terkunci. Dan beruntungnya aku menemukan kuncinya. Dengan hati-hati kubuka, dan aku benar-benar kaget ketika sebuah majalah S&M ada di situ. Batinku pasti ia menyembunyikannya agar tak ketahuan ayah dan ibu. Kakakku dengan aku kecil memang berbeda. Aku lebih bersikap baik ketimbang dirinya, walau aku juga tak memungkiri kalau sebagian diriku ini berhati setan.

Ayah dan ibuku sangat memperhatikan pendidikanku. Mereka mengikutkanku pada kursus-kursus seperti kaligrafi, matematika dan renang. Tapi memang dasarnya aku anak yang nakal, waktuku untuk belajar malah kugunakan untuk membaca manga di kamar. Karena mangalah aku suka menggambar dan membuatku bercita-cita menjadi seorang artis manga. Dan kalau orangtuaku ada di rumah, aku menyembunyikannya. Kenakalanku lainnya adalah sering menyelinap untuk menonon film kesukaanku, Child’s Play. Aku sangat menyukai film horror itu, padahal masa itu anak-anak lain kebanyakan suka bermain Nintendo Console, tapi tidak denganku dan teman-temanku yang lebih suka sekali Terminator, First Blood, Ramboo dan Robocop. Masa kecilku memang sudah terlihat brutal karena beberapa kesukaanku itu, tapi aku tak peduli. Bagaimanapun aku, itu adalah aku.

Masa-masa menjadi murid pertama di SMP, lagi-lagi orangtuaku mendidikku keras, namun dengan peraturan yang lebih ketat dari sebelumnya. Waktu itu, aku kelas satu SMP, tak ada yang mengira sebelumnya bahkan aku sekalipun, ada seorang anak perempuan yang saat itu kelas tiga SMP, datang menemuiku dan menyatakan cinta padaku. Sebenarnya aku tak mencintainya, tapi aku menerimanya saja. Dan asal kau tau, dia seorang yankee dan pimpinan di gengnya. Selama kami berpacaran, kami tidak pernah berkencan sekalipun. Hanya pulang bersama dan mengobrol banyak selama perjalanan. Tapi, akhirnya aku baru tau kalau belakangan ini ia suka menghirup thinner. Kau pasti tau alasannya menghirup thinner kalau bukan sebagai obat penenang yang mirip narkoba. Parahnya lagi, ia yang masih berpacaran denganku, ternyata sudah memiliki pacar, jadi ia mengencani dua orang sekaligus. Aku jadi makin tak suka dengannya.

Pada awalnya, tak banyak yang mengecat rambut mereka menjadi berragam warna. Karena pihak sekolah melarang murid-muridnya mengecat rambut dengan warna yang aneh-aneh. Tapi, begitu temanku mengecat rambut, aku tertarik dan ikut mencobanya. Awalnya hanya coklat yang masih gelap, namun setahap demi setahap, aku mulai mencoba bereksperimen dengan warna yang lebih terang. Hingga orangtuaku pun tahu.

“Taka,  ayah ingin lihat rambutmu!” kalimat yang ayah lontarkan sangat tegas dan seperti membentak
Tak ada yang bisa kulakukan saat itu. Sangat sulit menutupi kebohongan jika ayah sudah mengetahuinya. Lama aku tak merespon perintahnya, ayah menarik tudung jaketku –yang menutupi warna rambutku- dan kulihat ia terkejut. Kedua matanya membulat dan merah. Aku tau ia marah besar, dan aku harus berani mengambil resikonya.
Ia menarik tanganku kasar dan tak segan ia memukulku, terutama di kepala. Sakit, rasanya sakit sekali.

Setelah puas memukuliku, ia mengurungku di kamar agar aku menyesali perbuatanku. Tapi tidak, aku yang waktu itu masih memiliki emosional yang labil malah makin membenci orang tuaku. Aku selalu bertanya dalam hati, apa salah terbesarku sehingga mereka terus memukuliku. Apa hanya karena aku menentang mereka? Lalu bagaimana dengan kakak?! Dia bebas kesana kemari tanpa harus diperhatikan orang tua. Mereka jahat padaku.

Kurang puas dengan kenakalan yang teman-teman tularakan padaku, sedikit-sedikit aku mulai mencuri uang yang seharusnya untuk membayar les, tapi dengan tanpa rasa bersalah malah kugunakan untuk membeli rokok dan bermain di Arcades-sebuah tempat pachinko-.

Sampai saatnya aku duduk di kelas 3 SMP, aku coba-coba membentuk sebuah band. Hanya untuk melepas pikiran jenuh dan menuangkan hobi. Kami bingung untuk menentukan siapa saja yang cocok dalam instrumen yang ada. Maka suitlah jalan keluarnya. Aku kalah waktu itu, dan kebagian memainkan drum. Kami mengcover lagu-lagu visual seperti X JAPAN, Luna Sea, T-BOLAN dan lain-lain. Aku juga suka lagu-lagu anime, tapi dari sekian musik yang pernah kudengar hanya satu influenceku, SEX PISTOL.

Masih di kelas tiga, kejadian tak terduga datang padaku. Seorang siswi yang seangkatan denganku menginginkan aku untuk menjadi pacarnya. Oh, Tuhan dia menembakku. Dan kalau boleh aku jujur, dialah cinta pertamaku.

“Taka-kun, boleh aku bicara padamu. Sebentar saja” ucap gadis itu malu-malu
“oh, boleh. Silakan” aku mempersilakannya ramah.
“Taka-kun, sebenarnya aku sudah lama memperhatikanmu, dan—“
ia berhenti bicara. Kulihat kegugupan bersarang di wajahnya, dan akhirnya ia mengucapkan kalimat terakhirnya.

“aku menyukaimu”

Sedikit memerah wajahku waktu itu, entahlah karena sebenarnya aku juga suka padanya. Dia gadis yang manis, berrambut panjang coklat alami, dan matanya bulat seperti boneka. Jangan salah paham kalau kau mencapku ‘menyukai wanita dari fisiknya saja’. Tidak, pribadi gadis ini juga baik, walaupun berbeda kelas tapi aku sering melihatnya di perkumpulan teater sekolah. Dia juga pandai dan ramah. Aku juga tak tau mengapa ia mau menembakku.

Segera saja aku menerimanya, nampak ia sangat senang begitu kuucapkan ‘iya’ padanya. Seumur hidupku, aku tak pernah menembak gadis-gadis, justru sebaliknya, merekalah yang menembakku. Aku senang karenanya. Memang terdengar tidak gentle sekali ditembak seorang perempuan, tapi aku menyukainya. Ditambah lagi dalam soal ‘mencampakkan’ perempuan, akulah yang harus mencampakkan mereka. Bukan aku yang dicampakkan, seperti membiarkan mereka menang dalam urusan percintaan.

 Aku memang anak kurang ajar, tapi aku tak sebrutal teman-temanku yang lain. Dan aku masih menyimpan rasa takut pada orang yang lebih tua denganku. Aku masih lugu di saat-saat kami berpacaran. Jika aku punya pacar, aku akan tetap setia pada pasanganku. Jadi aku akan berpacaran dengan satu perempuan saja.

Sampai di mana saat kami lulus sekolah. Hari wisuda sebelumnya, kami pergi diam-diam ke belakang sekolah. Mencuri waktu untuk berdua saja. Karena aku pikir mungkin ini saat yang tepat untuk mengakhiri hubungan ini.

“setelah lulus kau akan sekolah di  mana, Taka-kun?” tanyanya malu-malu
“sebenarnya aku sangat ingin masuk ke sekolah seni..”
“lalu?”
“aku akan berusaha keras untuk itu. Kau juga, bagaimana?”
“oh, aku disuruh orang tuaku untuk lanjut ke sekolah di Chiba”
“jauh sekali. Apa kau akan pindah?”
Ia mengangguk “maaf aku akan pergi” raut kesedihan mulai terpancar dari wajah manisnya
“daripada kita terus tersiksa dengan hubungan ini. Akan lebih baik jika kita akhiri saja sampai di sini” ucapku datar tapi tegas
“kau serius, Taka-kun?”
“semua terserah padamu. Aku tidak ingin membuatmu terbebani olehku”
ia tersenyum, seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
“aku akan selalu mengingatmu. Kau juga, ya?”
aku mengangguk pelan. Dan saat itu juga ia memelukku tiba-tiba, sangat erat kurasakan. Gadis ini terlalu baik padaku, dan aku tak mau ia menjadi anak yang nakal sepertiku. Aku ingin dia menjadi seorang yang sukses di masa depan.

Kami berpandangan cukup lama. Ia makin mendekatkan wajahnya padaku, awalnya aku ragu karena aku tau ia akan menciumku. Dan entah setan apa yang merasukiku, aku menerima ciumannya, membalasnya dengan lembut. Inikah rasanya menjalin hubungan dengan cinta pertama?
Sepertinya iya.

---

Lulus dari SMP, aku ingin sekali bisa masuk ke sekolah seni dan segera kuambil formulir pendaftarannya. Keinginanku yakni menjadi seorang pematung, makanya aku pilih sekolah itu. Tapi hanya karena kelalaianku mengeposkan formulir, aku tidak terima di sana. Aku gagal. Hingga aku akhirnya masuk ke sekolah lain, dengan kualitas yang jauh lebih buruk. Senior-senior di sana seperti gangster ataupun yakuza. Mereka sering melakukan perploncoan, terbukti ketika hari orientasiku masuk ke sana. Mereka sangat brutal, menyuruh kami seenak mereka. Aku menyesal masuk ke sekolah itu.

Tak tahan lagi dengan semua yang ku alami di sana, aku drop out. Tepat di musim panas tahun ketiga-ku di sekolah. Aku takut menghadapi orang tuaku ketika melihat anaknya di drop out dari sekolah. Karena itulah aku kabur dari rumah. Di pikiranku hanyalah aku harus berkonsentrasi pada musik dan bandku.

Dengan membentuk sebuah band pertama –setelah aku keluar dari sekolah-, aku makin sering berlatih. Band bernama Mikoto adalah band yang mengusung genre visual-kei. Kami semua memakai makeup putih yang tebal dan tak lupa kostum berkabung, dengan kata lain lebih mirip gothic. Aku suka dengan konsep makeupnya, karena aku pikir dari makeup, orang bisa memancarkan banyak pesona. Dan itu membuatku percaya diri.

Aku pergi ke Yokohama dan sering menonton band-band yang sama sepertiku. Kulihat mereka sering tampil di situ dan aku sangat tertarik dengan gitaris beserta bassistnya yang sekarang bernama Uruha dan Reita. Dan akhirnya kami pun berkenalan dan sharing cerita tentang band mereka.

Awal yang baik bertemu mereka. Kami pun membuat sebuah band bersama, walaupun mengalami kegagalan sebanyak dua kali. Tapi aku tak pantang menyerah. Aku terus meyakinkan mereka kalau kita pasti bisa membentuk band yang terkenal. Di saat itulah kami bertemu Aoi dan Yune. Lengkaplah sudah anggota band kami, yang kuberi nama Gazette.

Drummer kami, Yune akhirnya mengeluarkan diri. Entah alasan apa, dan posisi drummer menjadi kosong sekarang. Terus terang saja aku frustasi, karena sudah lelah membuat band dengan akhir yang selalu sama, bubar. Aku tak mau Gazette bubar seperti band-band sebelumnya. Aku berusaha meyakinkan Uruha dan Reita agar menjadikan Gazette sebagai band terakhir kami. Dan aku bertekad jika Gazette terpaksa harus bubar, maka aku tidak akan bergabung dengan band manapun. Itu janjiku.

Kami melakukan tur ke beberapa tempat dengan modal kami sendiri. Betapa susahnya kami, ketika harus tidur di dalam mobil. Kadang-kadang juga kami tidak mandi. Tapi dengan begitu, hubunganku dengan rekan-rekanku menjadi kuat.

Oh, aku teringat ayah dan ibuku. Bagaimana keadaan mereka sekarang? Aku tidak pernah pulang semenjak hari itu. Apa mereka masih memikirkanku? Aku tidak tau. Coba-coba aku pulag ke rumah, bermaksud meminta maaf pada mereka. Dan apa yang aku dapatkan? Ayah yang selalu mendidikku dengan keras, kini membuangku sebagai anak. Ia mengusirku, dan tidak mau mengakui aku sebagai anaknya. Perasaanku waktu itu kalut, aku ingin berontak tapi aku tau aku sudah salah pada mereka. Buru-buru aku pergi ke kamarku dan mengepaki semua baju dan barang-barangku. Melihat ayah yang terus mengusirku, ibuku menangis. Aku bisa melihat penderitaan ibu karena ulah anaknya sendiri. Dan aku pergi meninggalkan kedua orangtuaku, dan rumah yang selama ini menjadi saksi bisu tumbuhnya aku di keluarga ini. Ayah, ibu, maafkan Taka.

Beberapa bulan kemudian kami bertemu Kai dan menjadikan posisi drummer dan leader sekaligus padanya. Lalu pihak label PSC menerima kami sebagai band naungan mereka. Entah bagaimana jadinya nanti, mungkin kami tidak bertahan menjadi musisi band.

Perlahan Gazette mulai berkembang, dan aku sangat senang. Di saat Gazette mulai terkenal, aku masih memikirkan ayah dan ibu. Mungkin sekarang mereka sudah tak mengenaliku,, karena aku sama sekali tak pernah menghubungi mereka. Tapi aku mendengar bahwa agensi kami mengirimkan beberapa poster, CD dan beberapa goodies tentang Gazette. Agensi kami pun memberitahuku kalau baru saja ia menghubungi ayah dan ayah berkata untukku
"Ketika orang sudah benar-benar mendengarkan musikmu, baru kamu kembali dan katakan padaku aku tidak mengerti musikmu.". aku mengerti kenapa ia mengatakan itu. Orang tua memang tidak mengerti tentang musik-musik anak muda apalagi rock seperti ini. Yang mereka tau pasti hanya enka. Huft, tapi aku senang ayah masih membuka pintu untukku.


Hubungan kami mulai membaik ketika suatu saat ibuku menelpon manajer kami dan memintanya untuk memberikan telponnya kepadaku. Dan saat itulah kami mengobrol cukup lama.

“Taka, apa kabarmu, nak?” suara tuanya sangat indah buatku. Aku rindu dengan suara ini.
Ragu aku untuk menjawabnya. Perasaanku saat itu benar-benar bahagia “aku baik-baik saja, bu. Ibu sendiri bagaimana?”
“ibu juga sehat. Taka, apa kau senang dengan kehidupanmu sekarang?”
“iya bu. Taka bisa jadi orang yang membuat ibu bangga, kan?”
“iya nak. Kapan kau pulang ke rumah? Ibu kangen padamu” terdengar nada bicaranya yang sedih
“Taka juga bu. Tapi saat ini belum bisa”
“ayahmu sangat mengkhawatirkanmu, Taka”
“ayah? Mengkhawatikanku?”
“setelah menerima poster dan kaset musikmu, ayahmu ingin sekali melihatmu. Maafkan dia yang pernah mengusirmu dulu”
“sudah kumaafkan kok, bu. Dan Taka juga minta maaf sudah membuat kalian malu selama ini”
“Bagaimanapun kau Takanori, tetaplah anak kami. Dan kau bagian dari hidup kami”
“terimakasih ibu. Aku tak akan melupakan kalian. Taka janji akan membahagiakan ayah dan ibu”
“jadilah anak yang baik, ya”
“baik bu”

Dan pembicaraan kami berakhir sampai situ. Walau hanya sebatas telepon, tapi aku merasa sangat bahagia. Mendengar pernyataan ibu yang mengatakan kalau ayah juga mengkhawatirkanku. Aku lebih bahagia dari apapun.


Orang tuaku akhirnya mendukungku dan bandku seutuhnya. Mereka mau membeli CD dan poster-poster Gazette, dan mereka juga rela antri untuk datang ke live-live kami. Tepat waktu itu, di antara para fans-fans yang menonton kami, ada dua sosok yang sangat kukenal berada di pinggir tempat penonton. Orang tuaku menontonku dari jauh. Aku benar-benar bahagia. Hasil kerja kerasku akhirnya dapat mereka terima, dan aku sedikit bisa membahagiakan mereka.


Aku menyesali semua hal jelek yang pernah aku lakukan waktu aku muda. Aku pikir dulu aku bisa mendapatkan apa yang aku mau dengan cara memberontak. Aku harap aku bisa menjadi lebih baik. Dan di hari-hari ketika orang tuaku sudah tua, aku ingin bisa mengurus mereka sendiri. Memperlakukan hal yang sama ketika mereka merawatku waktu kecil.


Aku menyayangi kedua orangtuaku, karena merekalah aku menjadi seorang vokalis the GazettE seperti sekarang. Pahitnya kehidupan keluargaku, tak mengurungkan niatku untuk menjadi orang yang lebih dan lebih dari kemarin. Aku hanya bisa memberi sedikit kebahagiaan kecil pada mereka, dengan menjadi seorang yang sukses saat ini. Namun aku menyesal telah melawan mereka dulu. Karena di balik itu semua aku tau kalau mereka mendukungku.


Di saat sebelum orang tuaku meninggal, aku ingin memperbaiki diriku sendiri. Supaya suatu hari nanti aku bisa berkata,


"Aku anak yg baik”


Thanks for my parents
your boy.
Taka ‘Ruki’ the GazettE

Owarimasu


N.b : saya menyelesaikan fic ini aja sampe nangis-nangis *lebay*. Comment please::::

No comments:

Post a Comment