Saturday, August 17, 2013

Fanfic alice nine.: Glossy Cherry


Title: Glossy Cherry
Author: Hikari Ogata a.k.a Eri Tonooka
Chapter: 1/1 –OneShot-
Pairings: ToraXSaga
Rating: PG-17
Genre: Yaoi, Fluff, SHOUnnen-Ai
Disclaimer: I don’t own them, They belong to PS Co. (disclaimernya basi amat, yasutralah~)
A/N: fic pendek lagi yang dibuat kurang lebih enam jam karena kebanyakan nyambi pesbukan. Wuoh~~ kangen ToSa *hug them*

Glossy Cherry
vistlip. – EVE


Mungkin kau tak akan percaya apa yang baru saja terjadi padaku semalam. Niatku yang awalnya hanya pergi ke pub untuk melepas penat justru berubah menjadi kejadian yang dramatis. Pub bukanlah tempat yang aman, errr maksudku bukan tempat yang tepat untuk sekedar melepas kekesalan dengan melempar satu dua panah ke papan dart. Pub adalah hiburan malam yang tak semua orang bisa memasukinya. Bau alkohol, ganja, dan bau seks bisa kau cium dengan mudah. Pasti kau beranggapan bahwa aku orang penggila wanita seperti orang-orang ‘gila’ di sana, bukan?

Sejujurnya tidak. Seumur hidup aku tak pernah mengencani satu wanita pun. Bukannya aku naif, hanya saja mereka bukanlah wanita yang kusuka. Oke, secara fisik mereka sangatlah cantik, tapi entah mengapa aku tak bisa hanya membawanya ke apartemenku dan bercinta semalam saja lalu setelah itu kubuang mereka. Tidakkah itu jahat? Sungguh aku akan membenci diriku seumur hidup jika aku melakukannya.

Satu kejadian di malam tadi yang membuatku akhirnya membawa seseorang untuk tidur di apartemenku. Bukan. Dia bukan wanita jalang yang memohon padaku untuk diselamatkan karena sedang diburu oleh sekawanan penjahat. Bukan pula wanita baik-baik yang tak sengaja mabuk di pub karena baru pertama kali meminum alkohol.

Dia laki-laki.

Awal pertemuan yang sering kau lihat di serial drama terkenal, aku bertemu dengannya secara kebetulan. Saat itu aku baru saja menenggak vodka yang ketiga-menyisakan hiasan buah ceri di bibir gelas-dan berbarengan dengan kedatangan seorang yang kuketahui dia seorang DJ masuk ke pub. Laki-laki jangkung dengan kemeja kotak-kotak berwarna biru yang sengaja dibiarkan tak dikancing, sehingga kaos putih di dalamnya menjadi terlihat. Tangannya yang terlihat kurus itu mengambil headphone dan memasangnya sembari menyetel perlengkapan DJ yang ada di sana. Mataku tak mau berhenti mengikuti gerak-geriknya bermain DJ. Pria yang keren. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri, entah mengikuti irama khas DJ atau yang lain apapun itu aku tak tau.

Malam semakin larut dan suasana pub bertambah ramai. Aku tak habis pikir dengan orang-orang ini. Apa mereka tak ingin tidur? Tubuhku sudah lelah dan aku ingin pulang segera. Namun saat aku hendak membayar semua vodka yang kuminum, tiba-tiba terdengar suara sesuatu yang berat terjatuh. Beberapa orang panik dan segera menuju ke sumber suara. Dan apa yang kulihat saat ini? Pria DJ yang kulihat tadi mendadak pingsan dan tubunya diangkat oleh beberapa karyawan di pub itu. Mereka nampak kebingungan dengan kondisi DJ itu, sementara musik DJ yang sempat tak dimainkan itu diambil alih oleh orang lain.

Tak ada hal penting yang harus aku lakukan jika tetap di sini. Aku lebih memilih beranjak keluar dan menikmati istirahat nyaman di kasur empuk ku. Tapi seseorang memanggilku.

“hey, kau!”

Kulihat si pemilik suara, dia adalah karyawan di pub itu-terlihat dari seragamnya- yang masih mengurus DJ yang pingsan mendadak tadi. Untuk apa dia memanggilku?

“kemari sebentar”

Aku berjalan ke arahnya sesuai perintahnya, tapi sebenarnya aku hanya ingin melihat keadaan pria DJ itu. “kau mau pulang, kan?”. Aku mengangguk.

“tolong kau antarkan dia ke rumahnya!” ucap lelaki pirang itu sedikit panik. Yang benar saja? Aku bahkan tak mengenalnya, apalagi mengantarnya pulang?. “aku tak tau—”
“atau bawa dia ke rumahmu dulu. Dia sedang sakit!” terkesan memaksa kalau boleh kubilang. Orang asing ini akan bermalam di apartemenku? Kenapa harus aku?

Pria karyawan berrambut pirang itu mengambil sesuatu dari saku celananya. Sebuah dompet yang di dalamnya terdapat kartu berwarna cokelat. “bawalah ini, itu kartu jaminan kesehatannya. Kalau sakitnya parah, tolong bawa dia ke dokter”

Aku menerima kartu itu dan memasukkannya ke saku kemejaku. Kutatap enggan pria DJ yang malang itu, dan terpaksa aku harus membawanya pulang. Itu artinya dia akan berada di apartemenku selama semalam. Aku bahkan tak pernah berpikir akan membolehkan orang asing tidur di kamarku. Oh ya, aku hanya punya satu kamar yang besar. Bagus. Harapanku untuk bisa tidur di kasur empuk malam ini harus tertunda dulu. Sesuai kata Kaasan, tamu adalah prioritas.

***

Suara burung gereja yang selalu berisik di luar apartemenku, mengisyaratkanku agar segera bangun. Ah, bukankah ini sudah pagi? Cahaya lampu pasti tak akan secerah ini, sebuah selimut sudah ada di atas tubuhku. Aku terbangun di pagi ini dengan keadaan yang aneh. Ada selimut tebal terbentang menyelimutiku dan tirai jendela yang semalam tertutup sekarang sudah terbuka sepenuhnya. Membiarkan sinar matahari pagi memasuki apartemenku. Menyilaukan.

Kebiasaanku tiap pagi sehabis bangun tidur adalah ke kamar mandi. Tak perlu kujelaskan pasti kau sudah tau apa kebiasaanku itu. Kuputar kenop pintu kamar mandi dan mendorongnya ke dalam. Dan seketika aku melihat pemandangan yang langka. Sangat langka bahkan aku sampai tak bisa bicara karenanya.

“ohayou..” pria DJ yang semalam pingsan itu sudah berada di kamar mandiku dengan kaos putihnya yang tergerai sebatas paha. Hanya kaos putih itu yang ia pakai. Tanpa celana dan kemejanya yang ia kenakan seperti tadi malam. Dengan santainya ia menyikat giginya dengan sikat gigi milikku. Menoleh seakan ia tak melakukan perbuatan dosa satupun.

“ah maaf. Aku pakai sikat gigimu..” ia membersihkan sisa busa di mulutnya dan mengelap sekenanya. Permintaan maaf macam apa itu?

“terimakasih sudah membolehkanku tidur di sini”. Ah ya! Tidur! Dengan pakaiannya yang seperti ini, aku tak melakukan hal yang macam-macam padanya, kan? Refleks aku melihat seluruh tubuhku dan mengecek apakah baju dan celanaku masih lengkap.

“kita tak melakukan apapun kok. Aku hanya senang memakai kaos ini saat bangun tidur. Kau tidak suka, ya?” ucapnya lagi sambil memilin kecil ujung kaosnya. Rambutnya terlihat masih berantakan dan ada sedikit lingkar hitam di bawah matanya, tapi aku bisa melihat pancaran sinar dari matanya itu bukanlah pancaran biasa.

Cantik.

Sungguh, dia memang pria yang manis dengan ekspresi wajah seperti itu. Aku mungkin akan memberinya beberapa ‘tiket’ menginap di sini satu atau dua malam lagi.

“tak masalah. Err.. Kamu sudah baikan?” tanyaku sepelan mungkin. “..ya sedikit”. Suasana menjadi canggung sesaat. “mau ke dokter?” tawarku. Yah setidaknya aku hanya mengantarkannya, masalah pembayaran dia ‘kan punya kartu jaminan kesehatan.
“ah, tidak perlu. Aku hanya butuh vitamin penambah darah,,” dia tersenyum kecil “..anemia”. Oh, pantas saja pucat. Ternyata kurang darah..

“sekali lagi maafkan aku. Um, aku Saga.” Dia membungkuk kikuk dan aku menggosok-gosok hidung tidak jelas. Mungkin aku sama kikuknya dengan orang ini.
“Tora. Cukup Tora saja”

***

Yah, hari ini dia mengajakku sarapan di luar. Keadaan yang pas saat di dapur tak ada bahan makanan dan kami juga sama-sama tak bisa memasak.

Hanya sarapan biasa di kedai ramen, kami sudah cukup puas dan kenyang. Karena dia yang mengajak, jadilah ia yang membayarkan. Aku anggap ini salah satu balas budinya. Ya salah satu, karena aku sedikit berharap lebih darinya.

Kami berjalan pelan sembari mengobrol ringan. Obrolan standar yang sering kau dengar dari orang-orang yang baru saja berkenalan. Sampai ia melihat kedai es krim di ujung jalan sana. Ia pergi begitu saja meninggalkanku dan menghampiri sang penjual es krim, aku mengikutinya dari belakang.

“pesan dua.” Ucapnya kepada sang penjual es krim paruh baya itu. Melihat bagaimana cara pembuatan es krim itu, Saga sangat tertarik dan terus mengucapkan kata ‘sugee’. Pembuatan es krim di kedai itu setauku memang yang paling modern dan alat-alatnya pun nampak seperti robot. Tak heran jika dia merasa antusias.

“terima kasih sudah membeli.” Penjual es krim itu memberikan dua cone es krim coklat dengan ujung yang diberi ceri merah berukuran cukup besar. Setelah Saga membayarnya ia memberikan salah satu es krimnya padaku. Sudah kuduga, ini adalah ungkapan balas budinya yang kedua.

Seolah tak lelah berhenti berjalan, ia kembali menggiringku ke taman dan duduk di bangku yang kosong. Sebelum aku menjilat ujung as krim yang hampir meleleh itu, aku mengambil cerinya dan membuangnya. Saga melihatku dengan alis yang bertaut. “kenapa dibuang?”.
“oh, aku tak suka ceri”. Buah ceri itu tidak enak. Penampilannya saja yang menipu, warnanya yang merah merekah itu jika dimakan ternyata tidak semanis rupanya. Aku hanya tidak suka saja buah-buah seperti itu.

“aku akan buat kau menyukainya..” dia mengambil ceri di es krimnya dan melepas tangkainya dengan menggigitnya. Yah, aku tau dia memakannya, atau lebih tepatnya menyimpan di dalam mulutnya.

Menyimpan ceri di dalam mulutnya dan mentransfernya ke dalam mulutku adalah hal gila yang pernah kualami. Dengan mudahnya ia ‘menyuapi’ ku dengan cara seperti itu. Barusan apa yang terjadi?? Dia menciumku, oh.. dan ceri itu sudah berada di dalam mulutku berkat usaha lidahnya yang memaksa masuk menerjang pertahananku.

Rasa yang beda dari ceri yang aku makan terakhir kali.

Manis.

Tak terasa ceri itu menghilang tertelan dan kami masih tetap berciuman. Di saat ceri itu sudah tak ada, mengapa rasa manisnya tak kunjung hilang. Bahkan lebih manis dari yang tadi. Aku tak mau melepasnya sekarang. Dorongan lain muncul saat aku benar-benar menikmatinya. Menganggap bibir kecil Saga adalah buah ceri yang manis.

Saga pun mengakhirinya dengan senyumnya yang malu-malu. Wajahnya yang pucat pun berubah menjadi merah merona, dan bibirnya persis seperti buah ceri merah yang matang. Mengkilap dan membuatku ingin melahapnya sekali lagi.

Dia pun tertawa melihat tingkahku.

Bodoh! Mudah sekali aku berciuman dengannya, padahal aku belum pernah melakukannya dengan wanita. Jujur, Saga lah yang pertama berhasil melakukan ini. Dan aku tak perlu kecewa padanya, karena yang barusan itu sungguh mengesankan.

Aku menyukainya.

Ya. Pria DJ yang membuatku merasa nyaman berada di dekatnya. Saga.

OWARI

No comments:

Post a Comment